search

Trans Nevada-California & Death Valley Boogie Woogie

Menyusuri padang gurun Nevada, menembus terik matahari, menuju Lembah Kematian,
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Dalam perjalanan dari Las Vegas (Nevada) ke Los Angeles (California), Marshello & co. singgah di Death Valley untuk syuting vidklip "Riot Angels". | Foto: Erick Est.
Dalam perjalanan dari Las Vegas (Nevada) ke Los Angeles (California), Marshello & co. singgah di Death Valley untuk syuting vidklip “Riot Angels”. | Foto: Erick Est.

Menyusuri padang gurun Nevada, menembus terik matahari, menuju Lembah Kematian, menjalankan ritual pemotretan, pengambilan gambar video, disertai penyucian barang-barang pusaka: sisir dan pomade. Demi menuju klimis-makmur pompadour, gemah ripah loh jinawi rockabilly.

Sejatinya kedatangan the Rockabali Rebels ke Amerika Serikat bukan cuma untuk tampil di ajang adiluhung Viva Las Vegas Rockabilly Weekend serta pertunjukan lainnya, namun juga membuat film dokumenter serta video klip. Makanya turut di dalam rombongan si pembuat video klip termahsyur di Bali, Erick Est, serta kru setia The Hydrant yang di tur Las Vegas-Los Angeles ini dirangkapkan statusnya menjadi asisten videografer, Budi SD.

Sejak dari Bali, sebelum the Pompadour Four berangkat ke negeri Abang Sam, Erick telah mulai mencicil adegan-adegan (stock shot) untuk film dokumenter serta video klip tersebut. Menyasar seputaran Denpasar, di bandara Ngurah Rai, saat transit di Taipei, dalam pesawat, ketika tiba di Tom Bradley LAX, pula tentu saja kala The Hydrant mencengangkan audiens Viva Las Vegas di Bienville Room.

Beberapa saat setelah menyelesaikan pertunjukan di Bienville Room, The Hydrant berpose menyuarakan Bali Tolak Reklamasi di Las Vegas Strip. Lawan! | Foto: Erick Est.
Beberapa saat setelah menyelesaikan pertunjukan di Bienville Room, The Hydrant berpose menyuarakan Bali Tolak Reklamasi di Las Vegas Strip. Lawan! | Foto: Erick Est.
Kontingen The Hydrant (minus manajer) seusai makan siang di pinggiran Las Vegas, dalam perjalanan menuju Death Valley.
Kontingen The Hydrant (minus manajer) seusai makan siang di pinggiran Las Vegas, dalam perjalanan menuju Death Valley.
The Beast, van raksasa yang menjadi alat transport kita selama di AS adalah juga sekaligus kamar rias The Hydrant.
The Beast, van raksasa yang menjadi alat transport kita selama di AS adalah juga sekaligus kamar rias The Hydrant.
Rudolf Dethu and the Death Valley Angels! | Photo: Erick Est.
Rudolf Dethu and the Death Valley Angels! | Photo: Erick Est.

Salah satu lokasi paling penting dalam isu dokumentasi ini adalah Death Valley. Taman nasional yang terletak di antara Nevada dan California ini merupakan wilayah paling rendah, paling kering, dan paling panas di sepanjang Amerika Utara. Beragam fakta mencekam tersebut barangkali membuatnya pantas digelari sebagai Lembah Kematian. Dan memang, ketika kami tiba di situ setelah 2-3 jam berkendara dari Las Vegas, nuansa horor tersebut sayup-sayup terasa. Tandus. Terik. Masif. Keji.

Kami menghabiskan cukup banyak waktu di Death Valley. Wajar saja, situasi, ambient, serta cakrawalanya sungguh klop dengan ekspektasi eerie kami. Video klip untuk tembang “Riot Angels” disyut sebagian besar di Kanyon Kengerian ini. Pun sekalian pemandangan perbukitan yang membuat bulu kuduk berdiri tersebut banyak direkam untuk modal tambahan film dokumenter nantinya.

Setelah matahari terbenam, sunset sudah usai, kontingen The Hydrant yang terdiri dari 4 personel band, 1 videografer, 1 kru, 1 manajer, dan 1 supir, melanjutkan perjalanan membelah no man’s land menuju California. Bagi The Beast, van berukuran raksasa yang menjadi alat transportasi kami selama di Amerika Serikat, ini adalah medan terberat baginya. Disuguhi bukan cuma jalanan yang datar, panjang, dan melelahkan. Pula tikungan tajam dan tiba-tiba serta jalan turun-naik yang relatif curam. Belum lagi lampu penerangan jalan yang di beberapa lokasi sama sekali nihil, cuma mengandalkan lampu dari The Beast. Saya lumayan ketar-ketir. Jalanan yang cukup bikin bergidik tersebut kian menakutkan karena sinyal 3G sama sekali mati. No service. Bayangkan, jika tiba-tiba ban The Beast mleduk, kan kita gak bisa update status ke Facebook bahwa kita sedang melakukan kegiatan gagah dan macho: membongkar pasang ban mobil. Hihi. Sorry. Just joking. But yeah, I kid you not, it was pretty scary.

Lewat tengah malam kami baru memasuki Los Angeles. Makan subuh sebentar, langsung masuk penginapan Airbnb di Echo Park, Central Los Angeles, yang kami sewa selama kami berada di the City of Angels. Besok, well, beberapa jam lagi, sudah padat acara yang menunggu!

The Pompadour Four berpose sebentar di depan penginapan Airbnb yang asri di Echo Park, Central LA. | Foto: Erick Est.
The Pompadour Four berpose sebentar di depan penginapan Airbnb yang asri di Echo Park, Central LA. | Foto: Erick Est.

Tidur sebentar, bangun, mandi, berdandan, kontingen The Hydrant sudah siap! Tanpa ngedumel kurang istirahat, belum makan pagi, ponsel belum beres di-charge, mereka tiada protes. Kenapa? Harap maklum, hari ini jadwalnya adalah menyambangi Hollywood Sign yang keren parah itu. Percuma ke California jika tak berfoto dengan latar belakang tulisan megah di perbukitan Hollywood Hills tersebut!

Sejak pagi hingga menjelang larut malam kontingen The Hydrant berkeliling di sekitar Hollywood syuting videoklip, pembuatan film dokumenter, serta mendokumentasikan apa dan segala momen penting selama sehari penuh itu. Saya membayangkan bakal seberapa njlimet Erick Est nantinya dalam memilah-milah gambar mana yang mesti digunakan yang mana dibuang sebab ada berlimpah scenes menarik yang efektif memperindah film dokumenter nantinya. Heheh.

Dalam perjalanan pulang ke Echo Park kami singgah sebentar di penyewaan alat Studio Instrument Rental (SIR) di Sunset Boulevard untuk memilih-milih instrumen yang hendak kami pakai untuk konser esok malam. Ya, besok kami bakal tampil di sebuah vodka bar di daerah West Hollywood, Bar Lubitsch. Memang, Marshello, Adi, Vincent, dan Christopper berangkat ke Amerika Serikat tanpa menggotong alat musik satu pun. Paling hebat cuma harmonika dan efek gitar. Ini disengaja mengingat bakal amat menyusahkan transportasi logistiknya. Gerak kami bakal kurang gesit. Waktu seminggu di Amerika Serikat ini menuntut kami bermanuver secara efisien dan efektif. Kebetulan Tom Ingram, mbahnya Viva Las Vegas, sedari awal telah meyakinkan kami untuk jangan repot-repot membawa alat. Apa yang kami butuhkan pihak Viva Las Vegas bisa menyediakannya. Sementara itu di Los Angeles saya punya kenalan dekat beberapa musisi yang bisa membantu mengurusi urusan instrumen ini.

Yang menggelikan soal instrumen ini, ternyata yang diberikan oleh Tom Ingram serta SIR justru melebihi ekspektasi. Vincent, axeman The Hydrant, yang paling histeris. “Aduh, ini sih kelewat bagus alat yang disediain panitia! Kita aja belum pernah sampai pakai instrumen segini canggih!”

The Hydrant, the Bali Tolak Reklamasi global warriors. Lawan! | Foto: Erick Est.
The Hydrant, the Bali Tolak Reklamasi global warriors. Lawan! | Foto: Erick Est.
Oh, hello Hollywood Sign! | Photo: Erick Est.
Oh, hello Hollywood Sign! | Photo: Erick Est.
Hollywood Walk of Fame! Wish our name would be written down in the future! | Photo: Erick Est.
Hollywood Walk of Fame! Wish our name would be written in the future! | Photo: Erick Est.

Rabu, 20 April 2016, sekitar jam 11an malam The Hydrant naik panggung. Jika diukur dengan seberapa mendadak pengumuman konser ini ke publik dengan jumlah penonton yang hadir, lumayan sukseslah menggaet audiens. Dari kapasitas sekitar 100 orang, terisi setengahnya. Sebagian adalah orang-orang Bali yang bermukim di LA, sebagian sahabat-sahabat lama dan baru, serta orang yang memang sengaja datang.

Salah satu yang bela-belain menonton adalah Kevin Stewart. Sosok ini bukan sembarangan. Ia adalah pembetot bas Big Sandy & His Fly-Rite Boys, grup western swing/country boogie yang harum namanya di blantika musik California serta populer di skena rockabilly global. Sekadar pembanding, di Viva Las Vegas, musisi-musisi rockabilly kelas A+ (Brian Setzer dkk) semuanya ditempatkan di panggung utama outdoor, di parkiran hotel The Orleans. Setingkat di bawahnya adalah musisi kelas A dan B+, mereka diberi main ballroom, Mardi Gras. Berikutnya, grup musik derajat B, disiapkan Bienville Room. Nah, Big Sandy & His Fly-Rite Boys tampilnya di Mardi Gras sementara The Hydrant di Bienville Room.

Yang paling girang dengan kedatang Kevin jelas si Adi. Bagaimana tidak, Adi sangat bangga Kevin menyempatkan diri hadir karena secara pribadi Adi amat mengidolakan Kevin. Baru saja ia menjejakkan kaki di klub yang terletak di West Hollywood, salah satu kawasan hip di LA, ia telah disambut langsung oleh Kevin. Begitu pun saat ia di panggung, Kevin kerap berteriak menyemangati, “Come on, The Hydrant!”

Marshello sendiri merupakan tipe tahan banting di segala medan. Ia penghibur sejati. Di situasi seperti apa pun ia cuek menggoyangkan badannya, mengambil sisirnya, serta bersenandung sepenuh jiwa—he always gives his 1000 percent! Penonton membludak, audiens segelintir, ruang sempit, arena gigantik, panas terik, hujan badai, ia tetap sama. Tetap the Brown Elvis yang publik kenal. Tetap the Bali Elvis seperti biasa—berbadan lentur, komunikatif, kulit sawo matang, dan senyum mematikan. Di Bar Lubitsch ini sejak lagu pertama hingga terakhir ia tak hentinya berdansa di panggung, pergi ke sudut-sudut mengajak penonton menyanyi dan berdansa, terus berusaha menghidupkan suasana agar meriah, hingga ia merasa bahwa Bar Lubitsch dan isinya telah berhasil ia kuasai.

Setelah jejingkrakan nyaris sejam lamanya The Hydrant akhirnya menyudahi pertunjukan. Kini waktunya menyapa para hadirin secara lebih hangat. Barangkali interaksi pasca konser macam beginilah yang sejatinya disebut dengan networking di dunia hiburan. Menjalin tali persahabatan secara lebih erat. Memulai relasi bisnis lewat jalan non-formal. Hingga lewat jam 2 subuh kami kongkow-kongkow di Bar Lubitsch. Kevin dari Big Sandy & His Fly-Rite Boys juga tinggal hingga kita semua diusir oleh bung satpam.

The Hydrant di Bar Lubitsch, West Hollywood. | Foto: Erick Est.
The Hydrant di Bar Lubitsch, West Hollywood. | Foto: Erick Est.
Marshello memamerkan kemampuannya memainkan harmonika yang mematikan. | Foto: Erick Est.
Marshello memamerkan kemampuannya memainkan harmonika yang mematikan. | Foto: Erick Est.
The Hydrant bersama beberapa personel Big Sandy & His Fly-Rite Boys serta sejawat di LA setelah beraksi di panggung Bar Lubitsch. | Foto: Kevin Stewart.
The Hydrant bersama beberapa personel Big Sandy & His Fly-Rite Boys serta sejawat di LA setelah beraksi di panggung Bar Lubitsch. | Foto: Kevin Stewart.

Hari telah masuk Kamis. Tengah malam nanti kami mesti balik ke Indonesia.

Tidur sekitar 4 jam, kami hampir serentak bangun. Packing, packing, packing. Ritual saat berdarmawisata yang paling menyebalkan. Menjelang siang rombongan telah siap. Di siang-sore terakhir itu jadwal kami adalah syuting di Venice Beach dan seputaran Melrose. Beberapa scenes pantai yang apik untuk film dokumenter serta beberapa adegan untuk videoklip “The Riot Angels” diambil di dua tempat tersebut.

Jam 8an malam rombongan sudah tiba di Tom Bradley. Kembali ke Indonesia, ke kehidupan nyata. Tapi kami telah bertekad untuk kembali. Apalagi sejentik sinyal positif tampak telah diberikan oleh Tom Ingram. Kami berusaha tak terlalu GR. Mungkin saja maksudnya lain. Tapi persetanlah, kami pasti ke Viva Las Vegas lagi. Apalagi tahun depan adalah dirgahayunya yang ke-20. Layaknya remaja yang beranjak dewasa, masuk usia ke-21, sebuah transformasi duhai penting. Harus kembali. Harus.

Hari terakhir di LA, mengucap selamat tinggal ke karib yang banyak membantu kami, Belinda Kazanci.
Hari terakhir di LA, mengucap selamat tinggal ke karib yang banyak membantu kami, Belinda Kazanci.
Stompin' at Venice Beach. | Photo: Erick Est.
Stompin’ at Venice Beach. | Photo: Erick Est.

Thank you Viva Las Vegas! Thank you Los Angeles! Thank you Supermusic! Thank you, you Beast!

Thank you for the good ol’ rockabilly times! See you next year, for sure!

________________

• Artikel yang saya tulis ini pertama kali dimuat di SuperMusicID.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top