search

THE HYDRANT MENGGOYANG VIVA LAS VEGAS DENGAN PARLENTE

Pompadour Four pertama kali tampil di Viva Las Vegas: datang, berdendang, dan menang. Datang dari jauh, berdendang boogie woogie, dan menang banyak.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
The Hydrant saat beraksi d Bienville Room, salah satu ballroom di Viva Las Vegas. | Foto: Lennon A. Curtin.
The Hydrant saat beraksi d Bienville Room, salah satu ballroom di Viva Las Vegas. | Foto: Lennon A. Curtin.

Datang, berdendang, dan menang. Datang dari jauh, berdendang boogie woogie, & menang banyak.

Tak percuma The Hydrant melanglang buana ribuan kilometer demi misi suci: pembuktian diri, bahwa integritas & konsistensi membawa hasil mumpuni. Bahwa 4 putra daerah asal Pulau Bali ini, the Rockabali Rebels, bisa. Bahwa keterbelakangan ekonomi, paceklik finansial, bukanlah penghalang. Miskin pun tetap bisa menghasilkan karya bermutu tinggi.

Bienville Room di hotel-kasino The Orleans menjadi saksinya. Kuartet klimis tersebut mampu mengguncang ballroom yang merupakan salah satu lokasi keriaan di acara Viva Las Vegas Rockabilly Weekend itu. Sebagian besar penonton yang sepertinya kurang familiar dengan The Hydrant nyaris sedari awal hingga akhir pertunjukan meringis histeris terus.

Semua kisah manis The Fabulous Four Kruisin to Fabulous Vegas bermula dari keisengan sang pencabik bas betot, Adi, yang berkirim surat elektronik sekitar satu tahun silam. Ia mencoba menyapa Tom Ingram, sosok legendaris penggagas Viva Las Vegas Rockabilly Weekend (selanjutnya disingkat Viva Las Vegas). Adi bermimpi sekiranya The Hydrant bisa tampil di festival musik rockabilly terbesar sejagat—dihadiri belasan ribu orang setiap kalinya—serta terkonsisten sepanjang sejarah (tahun 2016 adalah penyelenggaraan yang ke-19) tersebut. Tautan tentang The Hydrant komplet disertakannya di surel itu. Selanjutnya? Ya menunggu. Harap-harap cemas. Well, bukan harap-harap cemas sebenarnya. Lebih tepatnya: kalau diterima ya tentu girang bukan kepalang, kalau ditolak ya mau gimana, yang penting sudah berusaha. Alias lebih banyak rasa pesimistik dibanding optimisitik.

Tiada dinyana, tanpa disangka, Tom merespons salam dari Adi. Satu tahun kemudian. Ketika Adi bahkan telah (hampir) pupus harapan. Veteran rockabilly asal Inggris itu bukan cuma berbasa-basi sekadar berbalas sapa, berterima kasih lalu menghilang. Namun menawarkan The Hydrant unjuk kebolehan di Viva Las Vegas segala…

Adi jelas kaget gawat. Mimpi menjelma menjadi realita. Yeeha!

The Rockabali Rebels berpose di depan tempat menginap, hotel-kasino Gold Coast. | Foto: Erick Est.
The Rockabali Rebels berpose di depan tempat menginap, hotel-kasino Gold Coast. | Foto: Erick Est.

Untuk pertunjukan di Viva Las Vegas ini The Hydrant selain melakukan persiapan musikal yang sangat spartan—ketat, serius, rutin—juga seksama memberi perhatian pada penampilan. Saat tampil di manca negara diusahakan tetap membawa identitas Bali yang kuat tapi tidak terkesan ngotot memaksa, pokoknya harus Bali banget (yang berujung garing). Patokannya, jika kaum Hispanik bisa elegan menyelipkan identitas kulturalnya yang unik—Mariachi, Cholo, Chicano, Pachuco, dsb tanpa jauh melenceng dari fondasi rockabilly, Bali seharusnya juga sanggup. Soal busana ini, bahkan hingga beberapa saat sebelum meninggalkan hotel & kasino Gold Coast, penginapan yang disediakan oleh panitia, para personel The Hydrant masih mencoba mengubah di sana-sini padu padan yang telah ditentukan sebelumnya.

“Ini cocok gak ya? …Ah, nuansa Balinya kurang blend sama rockabilly!” Demikian seterusnya, bolak-balik. Hingga waktu kepergian ke lokasi pertunjukan jadi molor sampai setengah jam gara-gara masih linglung dalam mengambil keputusan soal padu padan busana.

Sekitar 1,5 jam sebelum jadwal naik panggung, para anggota The Hydrant beserta kru alat (sekaligus fotografer, sekaligus videografer) telah tiba di The Orleans, kasino dan hotel yang berusia setara dengan festival Viva Las Vegas: 19 tahun. The Hydrant diplot tampil pada jam 15.45. Berarti berlimpah waktu luang untuk melihat-lihat sekitar.

Memang, di Viva Las Vegas ini The Hydrant benar-benar merasa seperti di rumah sendiri. Sehari sebelumnya, ketika mereka mendapat kesempatan mengunjungi pameran mobil custom yang bersebelahan dengan panggung outdoor utama, begitu memasuki area eksibisi, mereka setengah berteriak bilang, “Oh man, this is HOME!”

Suasana arena outdoor di The Orleans, hotel-kasino tempat berlangsungnya Viva Las Vegas. | Foto: Erick Est.
Suasana arena outdoor di The Orleans, hotel-kasino tempat berlangsungnya Viva Las Vegas. | Foto: Erick Est.

Belum lagi seluruh area yang benar-benar kental nuansa rockabilly—desain tempat, gaya dandan orang-orang yang hadir, barang-barang yang dijual, serta tentu saja musik rockabilly yang digeber 1×24 jam penuh—sungguh membuat The Hydrant melayang ke awang-awang.

Ekstase kian menjulang saat masuk ke wilayah panggung outdoor …Brian Setzer on stage! Marshello segera saja meluncur ke area dansa di dekat panggung. Tampak beberapa pasangan tua-muda sedang girang berjoget. Gaya ajojing mereka sangat 50an. Luwes, dinamis, anggun, kombinasi maskulin-feminin yang flamboyan. Benar-benar terasa seperti sedang berada di film Grease! Marshello langsung mengajak salah satu wanita yang berdiri di sekitar lantai dansa untuk menemaninya menari berpasangan. “She’s Sexy & 17”, “Stray Cat Strut”, “Rumble in Brighton”, “Runaway Boys”, dan beberapa tembang klasik Stray Cats menjadi pengiring goyang tubuh Marshello dan pasangannya.

Jika kemarin larut dalam histeria Brian Setzer di luar ruangan, kini tersedot masuk di pusaran kegembiraan di dalam ruangan. Di The Orleans terdapat dua ballroom yang menjadi arena beraksi para musisi di Viva Las Vegas: Mardi Gras dan Bienville Room. Yang disebut pertama kapasitasnya lebih besar dibanding yang satunya lagi. The Hydrant diberi kesempatan menjajal panggung di Bienville Room yang berdaya tampung 500an orang. Not bad lah untuk grup yang bukan siapa-siapa, belum apa-apa di skena rockabilly global. Wong sudah diundang tampil saja sudah kelojotan riang minta ampun kok. Yang lain-lain mah bukan masalah. Manut aja sih.

Dandanan eklektik Marshello yang bikin banyak orang ternganga. Sebagian menyangka ia orang Meksiko.
Dandanan eklektik Marshello yang bikin publik ternganga. Sebagian menyangka ia orang Meksiko.
Marshello diajak berfoto bareng oleh para wanita yang terkesima dengan dandanannya. "Is this, um, ...Mariachi?" | Foto: Erick Est.
Marshello diajak berfoto bareng oleh para wanita yang terkesima dengan dandanannya. “Is this, um, …Mariachi?” | Foto: Erick Est.

15 menitan sebelum giliran The Hydrant unjuk aksi, Marshello (vokal, gitar, harmonika), Adi (bas betot, vokal latar), Vincent (gitar), dan Chris (drum berdiri), telah berada di belakang panggung. Bersiap dengan kuda-kuda bak hendak maju berperang. Diselingi perasaan berdebar-debar. Jelas saja, grup-grup lain yang tampil sebelum-sebelumnya di panggung-panggung Viva Las Vegas betul-betul yahud, jago menghibur lengkap dengan skill duh-gusti sinting. Pengalaman The Hydrant yang sebelumnya pernah tampil di Slovakia, Ceko, dan Austria barangkali cukup membantu mengatasi demam panggung. Hanya saja konser pada 2009 tersebut bukan pagelaran musik bertema khusus rockabilly. Viva Las Vegas ini khusyuk berkonsentrasi pada rockabilly, “agama” yang dipegang teguh oleh The Hydrant sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Dan Viva Las Vegas adalah festival rockabilly paling besar sejagat dus paling konsisten penyelenggaraannya. Jadi tingkat stress-nya lebih horor dari konser The Hydrant mana pun. Ngerik.

Di depan panggung tampak 200an orang sedang menikmati penampilan band sebelum The Hydrant. Di lantai dansa ada sekitar 20-25an orang sedang menari dengan kompak, menggerakan badan senada seirama (déjà vu Grease lagi!). Di sekitar bar dan dekat pintu masuk ada sekitar 100-an orang duduk menikmati minuman atau berdiri berkelompok bersenda gurau dengan rekannya.

Saat The Hydrant mengambil alih panggung, sebagian audiens pergi, digantikan khalayak lainnya. Tapi tidak sebanyak sebelumnya. Aduh. Namun kuartet klimis ini seketika bisa menarik perhatian orang-orang di Bienville Room saat MC mengumumkan kehadiran mereka—all the way from Bali, Indonesia!—Indonesia? Apa itu? Di mana itu? Wah, terdengar eksotik!

Tambah menggugah kala empat pemuda Pulau Dewata ini menggebrak dengan intro nan energetik: dendang instrumental rockabilly dengan semangat punk rock yang kuat. Para hadirin yang tadinya sekadar melengos menengok, pelan tapi pasti mulai merangsek mendekati panggung. “Show Time” diusung sebagai tembang pembuka. Salam perkenalan Marshello yang hangat serta lagu perdana beroktan tinggi mampu menjungkir balik situasi dari sedikit canggung menjadi maximum rock ’n’ roll. Jumlah penonton malah melampaui grup sebelumnya.

Seluruh karya andalan The Hydrant dibrojolkan di panggung. Dari periode lawas macam “Rockabilly Riot” (dari album debut bersama label mayor, Rockabilly Live), dari era transisi “Boogie Cadillac” (dari album keluaran 2011, Dirty Thirty), sampai single tergres “My Music is Rock ’n’ Roll” (dari album paling anyar, Lokananta Riot). Tiap lagu disambut begitu antusias oleh penonton. Tak cuma yang berbahasa Inggris, pun yang berlirik Indonesia seperti “Jalan Jalan”. Sampai-sampai Marshello memimpin koor segala. Oh, ada lagi yang ultra istimewa, saat bersenandung seperti biasa Marshello menjalankan ritual khasnya: mengambil sisir rambut dari kantong lalu merapikan pompadour-nya. Eh, tanpa disangka, salah satu penonton wanita berinisiatif sendiri naik ke panggung dan sukarela membantu Marshello menyisir rambutnya. Sontak saja audiens riuh jejeritan dan suit-suit.

Foto: Roland Wiryawan.
Foto: Roland Wiryawan.
Foto: Erick Est.
Foto: Erick Est.
Foto: Roland Wiryawan.
Foto: Roland Wiryawan.
Wanita ini berinisiatif membantu Marshello merapikan pompadour-nya agar tetap terjaga klimis. | Foto: Roland Wiryawan.
Wanita ini berinisiatif membantu Marshello merapikan pompadour-nya agar tetap terjaga klimis. | Foto: Roland Wiryawan.

Jatah tampil 45 menit hampir ludes, segera akan habis. The Hydrant beranjak berucap terima kasih dan berharap bisa berjumpa lagi tahun depan di acara yang sama lalu mendendangkan lagu pemangukas. Beres? Selesai? Belum. Ternyata belum. Penonton protes. Mereka minta tambah. “We want more….”. Ajegile. Muka para anggota The Hydrant jadi campursari antara bingung dengan sumringah. Pula kaget. Dan heran. Serta bangga.

Dua teman asal Indonesia yang berada di barisan penonton juga tampak menyiratkan ekspresi sedikit jemawa. Wajarlah. Dari negara antah berantah, ekonomi morat-marit, yatim piatu tak dipedulikan pemerintah padahal, istilahnya, membawa nama bangsa (mohon dicatat, agan-agan di pemerintahan, sejak 19 tahun penyelenggaraan, ini adalah pertama kalinya grup musik dari Asia Tenggara diundang tampil main di Viva Las Vegas. Untung saja ada Supermusic yang dengan tangan terbuka membantu kami), ternyata sambutan penonton—yang berasal dari berbagai belahan dunia—amat mencengangkan. Normal toh jikalau muncul rasa bangga berlebih?

“Wanted Man” digeber sebagai encore. Gita penutup yang sesungguhnya.

Terima kasih Viva Las Vegas. Kalian sudah memperlakukan kami sebegitu hangat serta penuh hormat. Kami tersanjung. Semoga bisa berjumpa kembali tahun depan.

Shake, rattle, rockabilly boogie, and roll!

_______________

• Foto di halaman depan adalah hasil jepretan Roland Wiryawan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top