search

THE HYDRANT KRUISIN’ IN THE USA

THE HYDRANT KRUISIN’ IN THE USA merekam perjalanan The Pompadour Four saat menjelajah sebagian Pantai Barat Amerika Serikat.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
banner premiere


THE HYDRANT KRUISIN’ IN THE USA merekam perjalanan The Pompadour Four saat menjelajah sebagian Pantai Barat Amerika Serikat.

Film dokumenter yang dikerjakan oleh sutradara trengginas Erick Est ini menyorot mulai dari konser gemilang si 4 pemuda klimis di Viva Las Vegas, pembuatan video klip “The Riot Angels” di dataran paling rendah sejagat nan keji dan mencekam Death Valley, eksotika Killafornia serta Gurun Nevada, sampai isu-isu kurang penting tentang ketidakbecusan personel The Hydrant menjalani kuis dadakan amatiran dusta-rockabilly Berpacu Dalam Melodi.

Berdurasi sejam, gambar hidup ini spartan dikerjakan sendirian di studio Erick Est Movie. Marshello, Adi, Vincent, Chris, berpartisipasi memberi masukan di sana-sini soal adegan yang mana disertakan, yang mana dienyahkan, yang mana bertele-tele didebatkusirkan. Urusan copy writing, akrobat kalimat, dan sengkarut kata diserahkan kepada sosok yang angkuh, tinggi hati, miskin itikad baik, lalu menyebut dirinya sebagai Munsyi Bangsat Liberal: Rudolf Dethu.

Oh, ada yang mungkin agak mengganjal: THE HYDRANT KRUISIN’ IN THE USA nihil terjemahan. Tiga bahasa yang dominan digunakan sepanjang film—Bali, Indonesia, Inggris—dibiarkan riuh bersliweran tanpa panduan. Tiba-tiba ketawa, saat-saat tampak saling cela, kadang terlihat ngoceh bergajulan di panggung. Semua dibiarkan telanjang tanpa translasi. Di suatu bagian hanya orang berbahasa Indonesia yang manggut-manggut. Di adegan lain cuma suku Bali yang mengerti. Di kala berikutnya yang non-Inggris bakal gagal paham.

Pembelaan diri personel Satria Catur Pomade alias Empat Pendekar Minyak Rambut ini terhadap tiadanya terjemahan? Katanya banyak kalimat tidak bermutu yang muncrat dari mulut mereka dan tanpa diterjemahkan pun, hanya lewat menyimak gestur yang tampak di film saja sudah cukup paham apa yang sedang terjadi. Lagipula, seberapa penting coba kalimat macam “Masa sih kamu gak naksir itu cewek?” untuk diterjemahkan? Pula sumpah serapah di beberapa bagian yang kurang mencerminkan Budaya Timur yang luhur penuh ewuh pakewuh, tentu tak bijak jika dipaksa ditranslasikan.

Pernyataan-pernyataan dalam Bahasa Inggris seyogianya diterjemahkan juga ke Bahasa Indonesia? Oh well, you like the idea of becoming global citizens, right? Ok, then. Start learning English, you suckers!

Jumat depan, 22 Juli 2016, film dokumenter ini bakal ditayangkan perdana, paling pertama, di tempat kongkow-kongkow yang pamornya sedang menjulang di Bali: Rumah Sanur. Berlanjut kemudian di Jogja di acara Jogja Tattoo Fest pada 31 Juli. Kota-kota lain akan disusulkan. Kami akan terus kabari. Stay slick!

THE HYDRANT KRUISIN’ IN THE USA
A Documentary Film by Erick Est

Movie Premiere & Rockabilly Groovin’
Friday, 22 July 2016, 7.30 PM
at Rumah Sanur
Free!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top