search

Surat Terbuka untuk Rocket Rockers

Kegelisahan saya bermula dari sebuah tampilan foto di Facebook dari salah seorang personel Rocket Rockers
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kegelisahan saya bermula dari sebuah tampilan foto di Facebook dari salah seorang personel Rocket Rockers saat ia berpartisipasi di acara Indonesia Tanpa JIL dimana salah satu dari orang yang diajaknya berpose mengenakan kaos “Pluralisme? Injak Saja!” Mohon maaf, foto tersebut sekarang sudah tidak ada lagi di album foto personel Rocket Rockers tersebut. Tapi kebetulan saya menemukan kaos bersablonkan tulisan tersebut di album foto yang lain:

Dari foto tersebut beserta jargon-jargon para simpatisan “Indonesia Tanpa JIL” jelas tergambar bahwa mereka menolak pluralisme, sekularisme dan liberalisme. Alias, jika dimaknai bebas para penolak JIL itu anti keberagaman. Agama lain? Injak saja. Yang berbeda suku—misalnya Bali yang cenderung sekuler—adalah kafir. Serta yang paling mereka prioritaskan: bahaya laten Zionisme serta Kristenisasi. Yang khas, aktivis gerakan ini memiliki semacam kode pemersatu yaitu: salam satu jari. Dari pemahaman saya intinya salam satu jari ini adalah sebuah peringatan untuk kembali ke asal, gerakan pemurnian, hati-hati sebab orang yang berada di luar lingkaran, yang berbeda keyakinan, tak lebih dari kumpulan kafir.

Saya sih tak masalah dengan orang yang berbeda keyakinan, mau masuk jadi anggota klub ini grup itu, menjadi ekstrem kiri mau pun kanan, bahkan menggunakan SARA sebagai bahan lawakan pun menurut saya masih sah-sah saja. Yang menurut saya berbahaya adalah anjuran/perintah/pidato yang menyulutkan kebencian pada suatu sosok dan/atau hal tertentu. Contoh paling sederhana: Pluralisme? Injak saja! Jargon ini kan berarti menafikan keberagaman. Hanya mengakui bahwa kelompok mereka saja yang paling berhak untuk hidup. Okelah, silakan merasa paling benar… Tapi “injak saja!”? Itu sudah menunjukkan agresivitas, menyerang kelompok lain (baca: kafir). Okelah, silakan, itu hanya sebuah permainan kata-kata, marketing gimmick. Yang duh-gusti menyedihkan adalah seperti yang dilakukan Rocket Rockers, menyuruh untuk menginjak keberagaman (agama berbeda, suku lain, a.k.a. kafir) tapi tetap saja, sekadar menyebut contoh, berkonser di Bali, menerima uang dari para kafir, berjingkrak-jingkrak “menghibur” (atau—sambil mempraktekkan salam satu jari—“kembali lah kau ke jalan yang yang benar wahai”) para kafir. Cih.

Kenapa surat ini saya tujukan kepada Rocket Rockers? Sebab setiap kali salah satu personel tersebut menghadiri acara “pemurnian” selalu saja yang disebut adalah si anu dari Rocket Rockers. Artinya ini bisa dikaitkan dengan institusi bertajuk Rocket Rockers. Kenapa saya tiba-tiba gerah padahal gerakan pemurnian ini telah ada sejak cukup lama? Sebab sudah mulai masuk ke wilayah yang saya sangat akrabi: musik. Silakan saja beraktivitas memurnikan/meluruskan di kelompok sendiri, jangan kami bagian dari pluralisme ini dicekoki lelucon fundamentalisme.
________________

• Artikel ini adalah tulisan pertama dari empat tulisan:
– tulisan kedua: Sesat dan Kafir Harus Bersatu. (Atau Mencret Menjadi Pengecut Seumur Hidup.)
– tulisan ketiga: Merdeka Menjadi Bianglala
– tulisan keempat (terakhir): Pluralitas dan Pluralisme dari Hongkong
• Baca juga pranala luar yang berkaitan: Antipluralisme dan Sinisme Rocket Rockers di Bali
• Pranala luar lain yang juga berhubungan: Mari Berdebat Istilah, Kang!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

52 Comments

  • Artikel ini cukup komprehensif dalam menyentil personel RR yg terlibat gerakan menginjak pluralisme. Artikel ini ditulis dengan gaya induktif, justru yg mengasumsikan tulisan ini sebagai asal tembak justru sebenarnya gagal menangkap esensi dari tulisan ini.

    Dari paragraf satu sampai tiga penulis menyampaikan fakta-fakta, dengan benang merah yakni penolakan pluralisme oleh RR yg kemudian dipungkasi klimaks pemaksaan semangat anti-pluralisme dalam bermusik. Sebuah artikel simple yg gagal dimaknai esensinya oleh bigot-bigot ITJ.

    Yang mengatakan pluralisme beda dengan pluralitas perlu dipertanyakan keterampilannya dalam mengolah & menggunakan kosakata bahasa Indonesia. Keduanya sama-sama berasalal dari kata plural, kata serapan yg berarti beda, perbedaan. Pluralisme dan pluralitas bisa berarti beda dalam keyakinan, suku, golongan, etnis dsb.

    Pluralisme adalah sebuah pandangan untuk menerima perbedaan dalam bingkai kesetaraan, egaliter, toleran, tak ada yg lebih tinggi atau rendah. Sedangkan pluralitas adalah sebuah keadaan, kondisi yg penuh nuansa keberagaman. As simple as that. Enak toh kalau saling menerima dan menghargai perbedaan? Lha wong menghargai koq diinjak-injak. Keblinger!

  • Mas Rudolf yang baik,

    Pluralitas itu keadaan masyarakat yang plural yang memang merupakan keniscayaan, sementara pluralisme adalah paham yang mengakui bahwa kepercayaan yang satu dan yang lain adalah sama-sama benar. Sekilas, pluralisme tidak terlihat berbahaya, namun sebenarnya sangat sesat logika. Bagaimana mungkin seseorang meyakini dua hal yang bertengangan? Kalau seseorang mengakui semua agama benar, sebenarnya dia tidak beragama.

    Maka, konsekuensi menganut paham pluralisme adalah keberagamaan yang setengah-setengah, tercemar, dan berujung pada menyepelekan aturan agama serta Tuhan itu sendiri. Jelas, ini tidak diinginkan oleh penganut agama manapun. Hanya orang yang tidak paham agama atau tidak beragama yang menganggap ini baik.

    Agama saya, yang notabene saya yakini berasal langsung dari Tuhan, bilang agama lain itu kafir. Apakah saya harus berkata lain, hanya karena segolongan manusia berpendapat bahwa istilah itu ‘tidak enak didengar’? Orang boleh tidak terima penisbatan itu, tapi saya tidak akan berhenti untuk percaya dan mengatakan orang yang beragama lain itu kafir, karena Tuhan saya bilang begitu secara gamblang. Tentu saja, ini tidak menghalangi umat Islam untuk berbaik sangka, beramah-tamah, dan bersikap adil terhadap mereka. Ini juga karena Tuhan saya memerintahkan demikian, serta Rasul-Nya mencontohkannya.

    Dengan uraian di atas, kiranya dapat dipahami bahwa Anda salah ketika berkesimpulan “pluralisme? injak saja! = umat agama lain! injak saja?”

    Mengenai JIL, mereka sudah tidak diragukan lagi penyimpangannya. Bagi yang bukan Muslim, atau tidak familiar dengan ajaran Islam, mungkin hanya akan melihat JIL sebagai bagian dari umat Islam. Percayalah, mereka jauh sekali dari ajaran Islam. Sama seperti orang utan tidak bisa disebut orang, Islam Liberal juga tidak bisa disebut Islam. Saya sarankan Anda baca buku “Islam Liberal 101” karangan Akmal Sjafril. Hakikat Islam Liberal dan pluralisme dibahas dengan sangat argumentatif dalam buku itu.

Comments are closed.

Related

Scroll to Top