search

Superman Is Dead: Semangat Pantang Mundur & Seni Mengelola Ego

Jangankan untuk skala lokal Bali, dalam lingkup nasional sekalipun cuma ada sedikit band yang mampu melewati satu dasa warsa. Superman Is Dead (SID) adalah satu dari segelintir kelompok musik yang sanggup eksis bukan hanya melewati rentang sepuluh tahun tapi juga, hebatnya lagi, dengan personel yang sama, tak berubah, sejak awal berdiri.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
SID by Gus De
Photo: Gusde Photography

Jangankan untuk skala lokal Bali, dalam lingkup nasional sekalipun cuma ada sedikit band yang mampu melewati satu dasa warsa. Superman Is Dead (SID) adalah satu dari segelintir kelompok musik yang sanggup eksis bukan hanya melewati rentang sepuluh tahun tapi juga, hebatnya lagi, dengan personel yang sama, tak berubah, sejak awal berdiri.

Benar, ketika grup lain untuk terus bertahan berdiri tegak harus melalui rangkaian proses bongkar pasang, SID sama sekali tidak. Dari sejak merilis album pertama, Case 15, pada tahun 1997, hingga album ke-4, Angels and the Outsiders, anggotanya ya masih dia-dia lagi: Bobby Kool (biduan, gitar), Eka Rock (bas, vokal latar), serta Jrx (drum). Dan kekompakan trio ini, sejauh yang saya tahu, adalah bukan sekadar kosmetik, “lips service”, semata buat konsumsi publik, dangkal di permukaan saja. Sedemikian solid dan (relatif) seiya-sekatanya hubungan antar personel ini sedari awal, pasti bukan perkara gampang. Berkaca saja pada diri sendiri, evaluasi ke dalam dulu, apa bisa kita konstan menjaga harmoni kekerabatan sebegitu panjang dan lama? Jika anda perkasa bilang, “Tentu bisa”, well, anda patut mega jumawa. Sebab anda termasuk satu dari sejuta yang sukses melakukan itu. Walau begitu, saya berani bilang, anda masih belum sejajar dengan SID karena yang lebih kompleks lagi adalah sungguh tak mudah rapi jali menata kerukunan para seniman. Wih, itu mah susah banget! Jamak diketahui, seniman pada umumnya, dan musisi pada khususnya, adalah sosok anomali, berbeda dengan orang kebanyakan, menjalani hidup dengan caranya sendiri, emosinya liar lagi labil, plus yang pasti: punya ego dengan kadar menjulang. Pendeknya, musisi itu sulit diatur. Baik diatur oleh orang lain maupun mengatur dirinya sendiri. Sudah begitu, silakan amatiran analisis band kawakan nasional yang anda kenal, pelajari dinamikanya, lalu monggo munculkan, ndak usah banyak-banyak, cukup satu institusi saja—yang selevel SID—yang interaksi domestiknya “ijo royo-royo” alias tak pernah gonta-ganti sejak dini hingga kini. Nah, ada tidak? Sampai hari ini, sejauh yang saya tahu: tidak ada, belum ada, susah ada.

SID by Gusde Photography
Photo: Gusde Photography
Berpijak dari situ, dalam konteks Bali, di soal menuju bintang, keserasian koneksitas ke-3 pria penyuka sepeda low rider ini patut dijadikan suri tauladan. Bagaimana mereka berjuang dari bukan siapa-siapa, naik peringkat menduduki klasemen tertinggi blantika musik Pulau Dewata, hingga meraih respek tingkat Nusantara. Dus, jika tiada sengkarut di perjalanan karir, sejengkal lagi predikat “living legend” akan tergapai (indeed, siapa bilang Bali tidak bisa?) Sekali lagi, berpijak dari situ, semangat pantang menyerah macam begitu pantas dicontoh oleh kontingen musisi lokal untuk menolak mati muda serta terus berjuang menggondol mimpi gigantik. Jangan langsung muluk-muluk berharap agar fantasi “go-national” bisa direnggut atau setia digjaya tanpa mutasi anggota, persis SID. Tak usah belum apa-apa sudah berpikir soal distribusi nasional, menyasar label mayor tertentu, agresif menjalin kontak dengan lusinan media massa bergengsi. Mulai saja dengan pembenahan internal. Ambil hikmah dari jaya-wijayanya SID. Berangkat dari 2 titik dulu:

1. Satupadukan Visi dan Misi
Tentukan segera, genre musik maunya apa, pop atau rock atau campuran keduanya atau mengikuti proses evolusi. Jangan pas di tengah perjalanan berselisih keras karena salah satu anggota memaksakan, katakanlah, kehadiran disc jockey sebagai pelengkap. Ketahui sejak sekarang batasan-batasannya.
Jika satu sama lain sudah berada dalam satu kelompok cukup lama, telah cukup dewasa, mantapkan hati, ambil keputusan, nge-band ini cuma buat senang-senang atau justru berniat serius. SID mungkin di tahun-tahun pertama belum berpikir sejauh itu, tapi, fren, era 90-an itu berbeda dengan masa sekarang. Hari ini, sebagian besar anak muda pikirannya cukup seragam: nge-band = ultra cool, , nge-band = bikin beken, nge-band = mudah memikat lawan jenis. Artinya: rival anda bejibun. Artinya: kompetisi duh-gusti semakin ketat. Artinya: don’t waste more time, make up your mind, to be or not to be.

2. Manajemen Ego
Ini yang susah, masing-masing anggota kudu tahu kapan bersikeras meyakinkan teman bahwa pendapatnya sahih kapan mengambil sikap mengalah. Kalau memang mau langgeng, mulailah belajar menghargai orang lain, tabiat mau menang sendiri harus bisa anda tekan ke titik terendah—kecuali konsep yang anda terapkan sejenis Megadeth: Dave Mustaine sebagai kapten (diktator?) yang memiliki otoritas absolut.
Jika anda piawai mengelola ego, hubungan antar personel terjaga apik, niscaya keutuhan kelompok akan terjaga dan akan menjadi lebih tahan banting. Tak cepat patah arang saat terjegal aral melintang. Untuk itu ada baiknya menghadirkan manajer yang selain melakukan tugas profesionalnya sebagai ketua “tim sukses” juga merangkap menjadi penjaga ritme agar tali silaturahmi antar anggota terjaga selalu selaras.

Mulai saja dari dua isu itu dulu. Jika bisa anda tangani dengan baik, silakan lanjutkan perjalanan. Kemungkinan kelompok anda tercerai-berai di tengah jalan relatif tipis. Kans kontingen anda untuk maju lebih gede. Sebaliknya, jika hanya satu faktor saja yang bisa anda penuhi, well, ambil langkah santun pula bijak: bubarkan band anda. Atau cabut dari situ, bangun mimpi baru. Sebab jika cuma sebiji persyaratan yang bisa dijalankan sama saja dengan buang-buang waktu. Dipahami?

SIMAK JUGA
Superman Is Dead: Anarchy for the Nation
1997-2009: The Early Years, Blood, Sweat, and Tears
One Million Facebook Fans Can’t Be Wrong
Superman Is Dead: The Vinyl Frontier
Superman Is Dead ~ Black Market Love
Superman Is Dead ~ The Hangover Decade

____________________

• Artikel ini pertama kali saya tayangkan di Musikator pada 24 September 2008

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top