search

Sub Kultur Para Klandestin Flanel

Grunge sudah mati? Seattle Sound telah tamat? Mungkin iya. Bisa jadi benar. Sebab di manca negara gelinjang musik yang berporos di Pacific Northwest, Amerika Serikat,---utamanya Seattle---ini terkesan melempem, layu gairah, sempoyongan lalu pingsan. Kalau pun para pembesarnya masih bergentayangan di blantika cadas raya, gaungnya tak cukup signifikan, tipis nuansa kolektif, cenderung melenggang sendirian. Boleh dibilang dari kalangan pesohor berbusana flanel cuma tinggal Pearl Jam, Stone Temple Pilots, Mudhoney, dan Alice in Chains (formasi anyar) yang masih eksis. Sayangnya, umur panjang itu tak disangkutpautkan dengan pergerakan atau rejuvenasi Grunge. Sepak terjang Eddie Vedder dan Rekan dianggap nihil relevansi dengan so-called Seattle Sound
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Grunge sudah mati? Seattle Sound telah tamat? Mungkin iya. Bisa jadi benar. Sebab di manca negara gelinjang musik yang berporos di Pacific Northwest, Amerika Serikat,—utamanya Seattle—ini terkesan melempem, layu gairah, sempoyongan lalu pingsan. Kalau pun para pembesarnya masih bergentayangan di blantika cadas raya, gaungnya tak cukup signifikan, tipis nuansa kolektif, cenderung melenggang sendirian. Boleh dibilang dari kalangan pesohor berbusana flanel cuma tinggal Pearl Jam, Stone Temple Pilots, Mudhoney, dan Alice in Chains (formasi anyar) yang masih eksis. Sayangnya, umur panjang itu tak disangkutpautkan dengan pergerakan atau rejuvenasi Grunge. Sepak terjang Eddie Vedder dan Rekan dianggap nihil relevansi dengan so-called Seattle Sound.

Bagaimana dengan republik ini? Di Nusantara, para kaum muda penggila Cobain-Cornell-Vedder-Weiland-Staley-Arm justru sepakat memperjuangkan kesinambungan Grunge. Pengguna flanel dan Doc Martens itu menolak mati dan/atau dimatikan. Yang tampak paling bersikeras mempertahankan “agama” Seattle Sound adalah Navicula, kuartet asal Denpasar, Bali. Sejak 1996 hingga detik ini, Robi, Dankie, Indra, dan Gembull; tetap teguh menyerukan Ke-Grunge-an Yang Maha Esa. Walau di pertengahan jalan derap langkah sempat berat dan lambat, dedikasi & optimisme band yang baru saja merilis album Salto ini akhirnya lumayan membuahkan hasil. Komunitas-komunitas di Tanah Jawa serta beberapa lokasi di pulau lainnya yang tadinya mati suri—hidup bosan mati segan—menjadi kental terinspirasi dan beringsut siuman kembali. Persekutuan Total Feedback di Jakarta, band Klepto Opera di Surabaya, Cupumanik—dengan frontman kharismatiknya, Che—di Bandung, serta beberapa kongregasi lainnya, bersatu padu lintas provinsi menggalang kekuatan agar pergerakan ini apinya tak padam, tetap menyala, kemudian membesar. Berderet album kompilasi nan tematik dirilis oleh Total Feedback. Sedangkan YY, pentolan Klepto Opera, menerbitkan buku tentang sejarah musik ini di tanah air, bertajuk Grunge Indonesia: Sub Kultur Para Pecundang. Sementara Che konsisten menyelenggarakan pagelaran (juga diskusi) bersubjek Seattle Sound, yang paling aktual 18 Oktober 2009 silam dengan konser The Immortal of Nirvana.

Itu saja? Oh tidak, aksi ini masih berlanjut. Malah tambah seru. Semisal Grunge Fair 2009 di Carburator Springs, Jakarta, 14 November; yang menampilkan musisi bineka daerah: Navicula (Bali), Besok Bubar (Jakarta), Sporadic Bliss (Solo), Beach Head (Cirebon), Screaming School (Semarang), Revenge the Painful (Bogor), dsb. Atau lebih masif, konser yang sedang digagas oleh Che, Robi dan beberapa sejawat lainnya pada Maret 2010: Rockotorfest.

Betul sekali, yang kekal di dunia ini hanyalah perubahan. Dan Grunge.

Rockotor d’Amour!

*Cupumanik photo, courtesy of Edwin Pratama – C.E.K.A.S. Photography
*Navicula photo, courtesy of Mark Ulyseas
*Artikel ini pertama kali tayang di majalah The Beat Jakarta edisi November 2009

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top