search

Soundrenaline Yang Tak Menghargai Bali Sebagai Tuan Rumah

Saya penggemar Soundrenaline. Hampir selalu hadir setiap kali acara diadakan. Pernah pula mengurusi acara pra-Soundrenaline di masa silam saat diadakan di Bali.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Saya penggemar Soundrenaline. Hampir selalu hadir setiap kali acara diadakan. Pernah pula mengurusi acara pra-Soundrenaline di masa silam saat diadakan di Bali. Belum lagi beberapa band yang saya manajeri dan bantu macam Superman Is Dead, Navicula, Suicidal Sinatra, dsb, sempat juga tampil di acara megah tersebut.

Walau tak selalu sepakat dengan pilihan band-band yang dipanggungkan, tapi secara mendasar Soundrenaline patut diperhitungkan. Selain paling konsisten, terbesar, secara berkesenian Soundrenaline menjadi penting karena ia merawat kegiatan bermusik agar tetap hidup di negeri ini.

Yang kian menyenangkan adalah ketika Soundrenaline belakangan ini selalu diadakan di Bali, pulau paling favorit bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi saya yang orang Bali ini memudahkan saya untuk menggembirakan hati, datang ke Soundrenaline dan bersenang-senang. Tinggal ngesot dari rumah.

Sayangnya, masalah juga mulai timbul di sini. Soundrenaline sepertinya take it for granted. Di tempat yang dipilihnya sebagai lokasi utama festival gigantik ini, Soundrenaline, kian hari, makin ke sini, bak menganggap remeh para musisi di pulau ini. Sang tuan rumah dipandang sebelah mata. Bukannya memberesi hal-hal musikal di pulau ini dulu semisal berdiskusi dengan band-band lokal atau para representasi utamanya, mengajak bicara tuan rumah, menerangkan kegiatan apa yang bakal berlangsung–apakah musisi lokal bakal diajak kerjasama atau tidak, jika iya bentuk kerjasamanya macam apa, jika tidak jalan tengah apa yang seyogianya ditempuh.

Pendeknya, semestinya yang di Bali dibikin kelar dulu baru kemudian mengurusi yang lain. Itu teori pendekatan paling fundamental. Ini kan tidak, nama band ini muncul gede-gede, nama artis itu nongol besar-besar, menggelegar. Sementara itu band-band lokal, hingga dekat Hari H sekali pun belum ada yang pernah dikontak. Baru ketika saya tadi malam menghubungi kawan dekat saya pucuk pimpinan sebuah majalah musik, baru mulai ada kasak-kusuk gerakan, reaksioner. Dengan embel-embel dalih: daftar band-band lokal sudah ada (disebut beberapa nama) cuma belum dihubungi saja. Wah, nama-nama lain bahkan sudah besar-besar terpampang di medsos, ini tuan rumah dihubungi saja belum. Apakah itu bukan tindakan menganggap remeh namanya?

Walau pun sebagian band-band lokal itu menurut saya sangat layak dipanggungkan, tapi di sini saya tak hendak memaksakan kehendak bahwa band-band lokal harus tampil. Itu terserah kebijaksanaan Soundrenaline. Tapi menurut saya sungguh tak patut menggunakan lokasi pertunjukan musik di Bali tapi para musisi Bali sama sekali buta soal apa yang sedang/akan/sudah terjadi. Kebetulan saja Bali adalah pulau internasional serta kerap dijadikan ajang acara berskala kolosal, jadinya hal-hal semacam “tuan rumah” cenderung dicuekin. Soundrenaline barangkali abai pada fakta bahwa para musisi di Bali dinamika kekerabatannya solid. Satu sama lain saling mendukung. Jadi ketika acara sebesar Soundrenaline diadakan di Bali, para musisi langsung muncul rasa ingin tahunya. Kita bagaimana? Mereka mau apa? Kenapa ini begitu kok itu begini? Atau coba kita bikin contoh sederhana saja, biar gak ribet: coba kalau Soundrenaline bikin acara di Ambon, apa Soundrenaline bakal tidak menghubungi musisi-musisi lokal atau perwakilannya? Saya hakkul yakin, pasti dihubungi. Nah, mengapa Bali tidak?

Satu hal lagi yang membuat saya pribadi tersinggung: soal Navicula dan The Hydrant. Navicula saya dulu memanajerinya. The Hydrant kini saya memanajerinya. Konon mereka bakal tampil di Soundrenaline. Lucunya, diposisikan sebagai band daerah. Memang, barangkali Navicula dan The Hydrant magnetnya belum sekuat band-band lain dalam menarik massa. Tapi menganggapnya sebagai band daerah? Siapa sih kurator Soundrenaline? Saya pernah bareng tur di California dengan Navicula beberapa tahun silam. Mereka tampil bukan di KBRI atau dengan audiens orang Indonesia yang bermukim di luar negeri atau TKI. Dan disambut amat baik. Begitu juga The Hydrant. Tampil di Las Vegas dan Los Angeles atas undangan pihak non-KBRI atau masyarakat Indonesia di luar negeri. Yang band daerah itu siapa? Bukannya band-band yang main di KBRI itu yang lebih tepat disebut band daerah? Band daerah Jakarta? Siapa sih kurator Soundrenaline? Oh, tak ada yang salah dengan band daerah. Ini soal kuratorial yang indikatornya rancu 🙂

Lalu apa tanggapan Soundrenaline soal ini?

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top