search

Sesat dan Kafir Harus Bersatu. (Atau Mencret Menjadi Pengecut Seumur Hidup.)

Awas! Ini bukan tentang agama atau pro-JIL. Ini tentang pilihan pluralisme.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Awas! Ini bukan tentang agama atau pro-JIL. Ini tentang pilihan pluralisme.

Ayo kita mulai. Sejak menyebarkan “Surat Terbuka untuk Rocket Rockers” segera saja berhamburan respons yang saya terima. Yang paling semangat mengeroyok saya adalah sejawat dari sang biduan Rocket Rockers—what’s his name again?—dari gerakan Indonesia Tanpa JIL. Bertubi-tubi saya dikuliahi serbaneka isu, itu sebenarnya begini, ini sejatinya begitu:

Yang pertama mereka para “Pluralisme? Injak saja!” mencoba meluruskan pemahaman saya tentang pluralitas, pluralisme, dan makna isme itu sendiri. Saya berujung bingung dengan justifikasi linguistik versi mereka yang menurut saya terlalu dicari-cari. Mereka lupa bahwa saya adalah pencinta bahasa, terutama Bahasa Indonesia. Saya tahu. Saya paham benar. Saya punya alasan sentimental mengklaim diri sebagai “munsyi”.

Yang kedua mereka para “Pluralisme? Injak saja!” sok mengajari saya tentang penggunaan frase yang nakal, dalam konteks ini: permainan kata “injak saja!”. Sama, saya juga berujung bingung sebab “injak saja” itu tidak nakal tapi agresif—ofensif malah, bersifat menyerang, mengerdilkan, kadang bisa membinasakan. Mereka lupa bahwa saya pernah punya clothing line Suicide Glam yang pada masanya jaya wijaya menjadi salah satu distro terbesar di Indonesia, serta saya pernah memanajeri Superman Is Dead dalam rentang waktu nan tak terbilang (tak perlulah dijelaskan siapa SID). Kedua entitas tersebut fondasinya sama: Nakal dan membebaskan. Bukan nakal dan mengerdilkan. Ya, saya punya alasan dramatis mengaku-ngaku sebagai “propagandis”.

Yang ketiga oleh mereka dipikirnya saya kurang banyak membaca. Mereka tidak tahu bahwa saya sadar seberapa pentingnya membaca plus saat ini sedang kuliah di bidang perpustakaan di Australia. Pun saya pernah memiliki perpustakaan kecil dan terbuka untuk umum selama beberapa tahun. Pula saya berkeyakinan bahwa di Indonesia, jika satu tempat ibadah dibangun, maka satu perpustakaan juga harus didirikan. Tujuannya? Makin rajin membaca yang berimplikasi mencerdaskan bangsa yang bineka ini lalu di kemudian hari tersentak sadar bahwa keberagaman (pluralisme) adalah yang justru menyatukan Nusantara; kemudian mahfum bahwa “Pluralisme? Injak saja!” adalah tindak khianat.

Silakan mereka, anda, penolak keberagaman menganggap saya arogan. Tiga paragraf jumawa di atas memang sengaja dikreasikan untuk anda saja kawanan “Pluralisme? Injak saja!”. Tujuannya? Agar anda lebih mawas diri serta, ahem, pick your battle. Oh ya, saya belum bilang bahwa sejak 2006 saya beserta sejawat dari Komponen Rakyat Bali (juga Yogyakarta, Sulawesi Utara dan Papua) telah bersinggungan dengan orang anti keberagaman macam anda di isu Undang Undang Pornografi. Jadi saya telah “kenal baik” dengan anda, siapa anda, cara pendekatan anda, agenda anda. Jujur, saya, kami, memang kalah karena akhirnya bendera UU Pornografi bisa dikibarkan. Tapi tidak di Bali. Tidak di hati para pencinta keberagaman.

Sudah, sekarang mari kita kembali ke topik utama: Rocket Rockers. Mari saya buktikan bahwa kecurigaan penolak keberagaman itu memang sahih dan beralasan. Cukup dengan 3 foto dan 1 logika benderang.

Indonesia Tanpa JIL - demo
Aksi Indonesia Menolak Liberal dimana turut berpartisipasi di antaranya adalah gerakan Indonesia Tanpa JIL tempat si vokalis Rocket Rockers—damn, what’s his name again?—meluangkan waktunya di kala senggang.
Indonesia Tanpa JIL - fundies
Salah satu aktivis Indonesia Tanpa JIL dikawal oleh seorang dari, um, FPI? MMI? HTI? Saya kurang tahu. Yang pasti bagian dari organisasi radikal.
Indonesia Tanpa Liberal
Jajaran suri tauladan para partisipan aksi Indonesia Tanpa Liberal. Di antaranya ada Ba’asyir dan Rizieq.

Nah, kerabat puspawarna, pengusung kebinekaan, pencinta keberagaman, dari kedua nama yang saya sebut di atas mana yang anda anggap menghargai pluralisme? Sebaliknya, justru para “guru besar” tersebut adalah orang-orang yang kerap menghancurkan tempat ibadah non kaumnya serta dengan seenak udelnya mencap pihak lain sebagai kafir dan sesat. Atau manuver lucuk mereka: Mengaku menghargai keberagaman namun—salah satu contoh saja—mengharamkan mengucapkan selamat natal. Anda tahu arti dari mengharamkan? Babi haram = babi hina, menjijikkan, menimbulkan penyakit. Jika anda relatif agak tidak terlalu pandai (baca: tolol) mungkin anda akan terbuai dengan klaim mereka sebagai mahluk yang menghargai keberagaman.

Jadi saya tetap dengan pendapat saya sejak awal: Sama sekali tidak percaya bahwa personel Rocket Rockers terutama Noor Al Kautsar alias Ucay (Ha! Baru ingat! Mohon ikhlas dimaafkan, saya memang gampang lupa nama jika sedang jijik) klaimnya menghargai keberagaman. Punk rock, kawasan yang saya hafal benar, justru adalah surganya para insan bineka. Saya tidak terima si personel Rocket Rockers itu merecoki zona punk rock nan puspawarna, yang bangga menjadi pelangi ini. Pun saya menolak bersinggungan sampai kapan pun dengan jenis orang yang merasa berhak mencap orang lain sebagai kafir dan sesat. Tidak siapa pun—TIDAK SIAPA PUN—boleh menyebut orang lain kafir dan sesat. Kenapa dia merasa berhak memasang label kafir dan sesat kepada kita, kepada saya? Siapa yang telah mengangkatnya menjadi mahluk yang berharkat lebih tinggi dari kita, dari saya? Maka itu saya memilih melawan, menolak mencret seumur hidup menjadi pengecut.

Bhinneka Tunggal Ika. Bersatu menjadi bianglala.

RUDOLF DETHU
_________________

• Sudi kiranya dimaafkan bagi yang foto/karyanya saya gunakan tanpa ijin
• Kolom komentar saya tutup sebab kesimpulan saya sudah final. Jika ingin merespons ini silakan bikin tulisan sendiri
• Tulisan ini adalah tulisan kedua dari empat tulisan:
– tulisan pertama: Surat Terbuka untuk Rocket Rockers
– tulisan ketiga: Merdeka Menjadi Bianglala
– tulisan keempat (terakhir): Pluralitas dan Pluralisme dari Hongkong
• Baca juga pranala luar yang berkaitan: Antipluralisme dan Sinisme Rocket Rockers di Bali
• Pranala luar lain yang juga berhubungan: Mari Berdebat Istilah, Kang!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top