search

Seringai: Kian Nyaring dan Makin Bertaring

Ini adalah sebuah ode yang dibuat dengan tujuan merayakan hasrat untuk menjadi impresif dalam segala hal.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

↓ For English version please scroll down

SERINGAI-mainpage

Ini adalah sebuah ode yang dibuat dengan tujuan merayakan hasrat untuk menjadi impresif dalam segala hal. Taring adalah metaforanya. Menancap tajam adalah misinya.

Kalimat yang disemburkan oleh Ricky Siahaan (gitar) tentang, “Taring”, tembang yang menjadi salah satu jagoan di album termutakhir Seringai tersebut bisa digunakan sebagai pijakan dalam menggambarkan seperti apa rangkaian karya yang baru saja beredar beberapa pekan silam ini. Dan memang, penantian yang sungguh—duh sungguh terlalu—lama tersebut seperti lunas terbayarkan. Rentang pengharapan sepanjang lima tahun nan melelahkan sejak album penuh sebelumnya, Serigala Militia, seketika sirna ketika 12 tembang rancak beroktan tinggi diperdengarkan. Taring, yang pula dipakai sebagai tajuk album, memang amat pantas untuk ditunggu.

Sedahsyat apa gelegar rindu publik terhadap kuartet asal Jakarta/Bandung ini sejatinya telah tergambar ketika mereka menyebarkan secara cuma-cuma single perdananya, “Tragedi”, lewat jagat maya sebelum Taring resmi dirilis. Dalam satu setengah bulan saja lagu sindiran terhadap logika ‘ajaib’ beberapa pemuka agama ini telah diunduh sebanyak 225.000 kali. Makin mencengangkan ketika dalam hitungan dua jam saat pertama kali “Tragedi” dipersilakan untuk dikoleksi, seketika 20 ribu unduhan berlangsung berbarengan sampai-sampai website Seringai ngadat. Ha.

Diterbitkan melalui label mereka sendiri, High Octane Production, serta didistribusikan via Demajors, Ricky, Arian13 (vokal), Sam Bram (bas), dan Khemod (drum) menyodorkan jajaran ritme cadas antemik yang memang telah menjadi ciri khas mereka. Kuartet ini mengandaikannnya sebagai soundtrack alami pengiring amarah yang juga cocok dijadikan lagu kebangsaan resmi sebuah pesta rock liar. Sementara Ricky yang bertindak pula sebagai produser menjabarkan secara musikal lebih persis: “Rock-n-roll/metal yang berat dan distortif, berselingkuh dengan hardcore punk, hingga akhirnya membidani anak haram yang ganteng.”

Bicara lirik dan tema, band yang mengibarkan bendera sejak 2002 ini tetap dominan berkutat di dua wilayah kegemarannya: Sosial politik serta bersenang-senang (“Serenada Membekukan Api” dan “Program Party Seringai”). Yang cukup berbeda, kali ini mereka mencoba sedikit bereksplorasi dengan menyelipkan wacana fiksi ilmiah (“Fett, Sang Pemburu”), pun menyanyikan ulang lagu lama sarat dekadensi milik Duo Kribo (“Discotheque”) serta nomor tradisional berformat akustik yang pekat mengingatkan kita pada langgam drinking song, “Lissoi”.

Demi merayakan kelahiran album kedua ini plus eksistensi mereka selama satu dasawarsa di blantika musik cadas Nusantara, Seringai berencana mengadakan konser tunggal dalam waktu dekat. Ikuti terus perkembangannya lewat kicauan Twitter @seringai dan halaman Facebook www.facebook.com/seringai.

English version

The brightest metal quartet in Indonesia, Seringai, are back in full force. After creating massive buzz via their free download single ‘Tragedi’ (225,000 downloads in 1,5 months, to be exact), their latest album was finally released in mid July.

Titled Taring, they—Arian13, Ricky Siahaan, Sam Bram, and Khemod—still stick with their favourite themes: sociopolitical issues, and partying hard. The long awaited album also includes two anomalies, a science-fiction topic (“Fett, Sang Pemburu”) and a traditional, drinking song-ish folk song (“Lissoi”).

Seringai plans to do a solo concert to celebrate the release of the album, plus to acknowledge their decade-long existence, in the near future. Keep yourself updated by following them on Twitter @seringai or via their Facebook page: www.facebook.com/seringai.

SEE ALSO
Seringai: Menolak Tua dan Bangga

________________________

• This article was firstly published on The Beat (Jakarta) #70, Sep 03-16, 2012
• Watch them performing one of their songs from Taring, “Tragedi”:

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top