search

Roman Catholic Skulls

Roman Catholic Skulls adalah proyek musik dari Marcel Thee (Sajama Cut, The Knife Club, Ghost Kingdom) dan Danif Pradana (Sabedarah, Kalimayat, Udanwatu, Khuruksetra). Dengan senang hati duo asal Jakarta ini membagikan gratis album perdana mereka, Weathered, di sini.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Press Release

Roman Catholic Skulls adalah proyek musik dari Marcel Thee (Sajama Cut, The Knife Club, Ghost Kingdom) dan Danif Pradana (Sabedarah, Kalimayat, Udanwatu, Khuruksetra).

Menurut duo asal Jakarta ini Weathered merupakan sebuah album dengan mengedepankan atmosfer yang lahir dari pengerjaan intensif selama 2 bulan yang dimulai pada Juli 2011. Tidak ada prekonsepsi dari musik ataupun nuansa yang akan dibuat.

__________________

ROMAN CATHOLIC SKULLS
Weathered
The Bronze Medal Recording Company/Deathrockstar

1. Champions, Weather (18:45) ♫ Download
2. Adventurers, 1972-1973 (26:55) ♫ Download
3. Secret Enemies (10:41) ♫ Download
4. Skyscrapers Falling Onto Each Other (8:10) ♫ Download
5. Drooling Ghoul (Roman Catholic Excerpt) (9:50) ♫ Download

__________________

Interview Roman Catholic Skulls dengan Deathrockstar

Cuy, apa ini RCS?

Marcel Thee (MT): Gue udah cukup lama tau tentang Danif sejak era Apologia, album pertama Sajama Cut. Kalo gak salah, dia lumayan sangat-menyukai album itu. Dan dari sekitar pertengahan 2000-an, gue mulai lebih aktif mengikuti musik dia. Jadi RCS ini rasanya ekstensi natural aja dari ketertarikan gue sama musik Danif, dan ketertarikan dia sama music SC.
Danif Pradana (DP): Sebenarnya sih I’m simply a long time fan of Sajama Cut. Gue inget banget waktu itu gue mail order kaset-nya Apologia langsung dari mereka. Kirim surat, diselipin duit waktu itu. Dan sejak gue pergi kuliah ke Sydney gue tetap ngikutin mereka. Kebetulan gue emang gak pernah pulang liburan ke Indo pas di sana. So gue nitip album Osaka Journals-nya Sajama Cut ke teman-teman yang lagi liburan. Well, finally now I got the chance to work with the man behind the band itself. Ya, cukup excited banget.

Kalian berdua tampaknya punya fetish dengan ‘musik noise’ bagaimana bisa? apakah kalian benar-benar menikmati suara bising-bising yang hampir abstrak tersebut?

MT: Di tahap ini sih gue udah gak bisa membedakan secara emosi musik yang konvensional dan musik yang bagi beberapa orang mungkin terhitung eksperimental. Setiap kali gue buat musik, gue cuma berusaha membuat sesuatu yang bisa ‘menggerakan’ gue—pendengar selalu jadi nomor dua. Gue sama Danif hampir dibilang sama sekali gak ngebahas ‘okey, musiknya nanti gini nih…’ Kita cuma ngobrolin tentang band-band yang lagi kita sukai, dan apa yang kita sukain dari band-band tersebut. Approach-nya benar-benar dari sisi penggila musik.
Secara tekstur—selain hal-hal yang ketara di permukaan seperti ‘field recordings’ dan penekanan pada ambience—mungkin memang musik RCS sedikit butuh lebih banyak waktu untuk diserap. Tapi secara pendekatan emosional, gak ada bedanya sama kalau gue buat musik untuk Sajama Cut atau projek-projek gue lainnya.
DP: Sebenarnya sih memang sound-nya itu sendiri yang menarik. Gue sendiri gak pernah menggunakan kata-kata noise, bising, atau abstrak untuk mendeskripsikan apa yang gue suka, tapi gue tau kalo itu adalah memang tipe-tipe suara yang gue suka. Secara gak langsung itu juga mempengaruhi karya-karya gue, terutama tendency gue dalam mencari suara. Bahkan ketika gue lagi ngerjain sound design buat iklan, terutama iklan-iklan yang membutuhkan full sound effects, gue banyak menggunakan potongan-potongan noise-nya Merzbow buat bikin efek-efek sintetik. Gue rasa itu otomatis aja.

Bagaimana pendapat orang tua kalian atau keluarga terdekat mengenai musik-musik semacam ini?

MT: Orangtua gue udah lama terbiasa sama bermacam-macam musik gue. Minggu kemarin waktu gue nginep di rumah orangtua gue, nyokap gue muterin Osaka Journals seharian, supaya anak gue terhipnotis suka sama suara bapaknya mungkin.
DP: Nyokap gue termasuk orang yang konvensional. Tapi bokap gue termasuk orang yang mendengar musik-musik rock. So loudness bagi dia udah gak masalah. Oh ya dan gue juga ketemu sama istri gue gara-gara musik seperti ini. Waktu itu gue lagi nyiapin performance-nya Khuruksetra di Salihara. Dan gue ketemu istri gue di sana. She said she’s really into my music. Kita pacaran, menikah, dan sekarang sudah punya anak. Who said you have to be a rockstar to attract a woman? 😉

Kalian berdua kan juga sama-sama baru punya anak, apakah mereka juga turut mempengaruhi proses kreatif di RCS?

MT: Secara gak sadar sih, sangat pastinya. Mungkin approach gue sedikit lebih optimis, yang juga pasti efek ke penulisan lagu. Waktu yang lebih sedikit untuk musik juga ngebuat gue harus lebih efektif mempergunakan waktu. Gak mungkin lagi cari sound 2-3 jam. Enak sih, lebih seperti approach kalo buat demo.
DP: Sudah pastinya sih waktu kita sudah gak bisa sebebas dulu lagi. Tapi gue tetap selalu biasakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan gue di sekitar anak gue. In fact, materi terakhir RCS yang gue mixing, itu gue kerjain bareng anak gue. Hehe. Gue duduk di depan laptop gue, lengkap with all my soundcard, headphone, pedals, trus dia tiduran di bouncer-nya tepat sebelah gue. Gue ngerasa ada kedekatan antara father and son ketika ngegarap RCS. Haha.

Next plan?

MT: Gak ada plan yang baku. Tapi gue sangat enjoy buat musik dengan Danif. Jadi gue rasa, kita bakal rilis album lagi, setidaknya mungkin akhir tahun ini.
DP: Plan pasti gak ada, but yang jelas I wanna keep this going. Next release will be different. Mungkin lebih Epic? No limitation yang jelas.

Info lebih jauh silakan kontak:
http://facebook.com/romancatholicskulls
[email protected]

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top