search

Rock-n-Roll Exhibition: PHILIPS VERMONTE

Edition: Wednesday, February 09, 2011Rock-n-Roll Exhibition: PHILIPS VERMONTELagu-lagu Empat Musim:: Playlist, intro, and song descriptions, handpicked and written by Philips himself :: Siapa tak kenal mahakarya komponis besar Italia, Antonio Vivaldi yang berjudul The Four Seasons (Le Quattro Stagioni). Mahakarya ini terdiri dari empat set orkestrasi biola dimana Vivaldi 'berkisah' tentang empat musim: spring, summer, autumn/fall, winter. Menjadi mahasiswa di Amerika dalam lima tahun terakhir memberi saya kesempatan menikmati (juga mengalami derita) empat musim yang bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Membuat list lagu terbaik adalah tugas maha berat. Maka, saya melarikan diri dengan memilih sekedar menulis lagu-lagu yang menemani saya melalui empat musim setiap tahun, selama lima tahun terakhir.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Edition: Wednesday, February 09, 2011

Rock-n-Roll Exhibition: PHILIPS VERMONTE
Lagu-lagu Empat Musim

:: Playlist, intro, and song descriptions, handpicked and written by Philips himself ::

Siapa tak kenal mahakarya komponis besar Italia, Antonio Vivaldi yang berjudul The Four Seasons (Le Quattro Stagioni). Mahakarya ini terdiri dari empat set orkestrasi biola dimana Vivaldi ‘berkisah’ tentang empat musim: spring, summer, autumn/fall, winter.

Menjadi mahasiswa di Amerika dalam lima tahun terakhir memberi saya kesempatan menikmati (juga mengalami derita) empat musim yang bergerak dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Membuat list lagu terbaik adalah tugas maha berat. Maka, saya melarikan diri dengan memilih sekedar menulis lagu-lagu yang menemani saya melalui empat musim setiap tahun, selama lima tahun terakhir. Ini dia:

SPRING
Musim paling menyenangkan, meninggalkan musim dingin yang membekukan dan menyambut datangnya libur panjang musim panas yang bisa jadi berarti traveling atau sekedar bermalas-malasan di rumah.

1. Waterloo Sunset – The Kinks

Rock dengan nafas psychedelic dari album Something Else by the Kinks. Lirik yang mikroskopik memberi detil stasiun Waterloo yang amat sibuk di London. Udara musim semi yang masih agak dingin di malam hari, dan orang hilir mudik keluar masuk stasiun Waterloo (…millions of people swarming like flies round waterloo underground…). This is Ray Davies at his best.
Rilis: 1967

2. New Day Rising – Hüsker Dü
Setiap pagi hari di musim semi seperti hari baru. Lagu up tempo sepanjang 2 menit 35 detik cukup untuk membakar siapa saja.  Ketukan drum mengajak berlari, ditambah teriakan Bob Mould sambil menghantam dada saya dengan raungan gitarnya. Husker Du berasal dari Minnesota, sebuah negara bagian di Amerika dengan musim dingin yang brutal. Karena itu, saya curiga bahwa lagu ini mereka buat saat musim semi selepas musim dingin. Keseluruhan album New Day Rising adalah mahakarya dari Husker Du. Tanpa cela.
Rilis: 1985
3. Temptation – New Order
Hook gitar dan drum yang hipnotik memberi efek joyful seindah musim semi. Bass line dari Peter Hook akan membuat malu band-band belakangan yang mencoba meniru, termasuk Interpol. Kematian Ian Curtis memang serta-merta mengubur Joy Division. Tapi para survivor Joy Division (Bernard Sumner, Peter Hook, Stephen Morris) melanjutkan semangatnya. Dan lagu “Temptation” lah yang mendefinisikan jalan gemilang New Order selepas Joy Division.
Rilis: 1982
4. Orion – Metallica
Cliff Burton dengan bass-nya yang melodik berpuncak di sini. “Orion” adalah komposisi orkestra ala heavy metal. Boleh disebut sebagai Vivaldi-nya heavy metal. Semua jatuh pada tempat yang semestinya: rhythm dan melodi Hetfield dan Hammett, liukan bass jenius dari Burton dan tentunya ritme drum yang diatur oleh Ulrich. Cliff Burton di-immortalized dengan lagu ini, ketika Metallica memilih “Orion” untuk diputar di hari pemakamannya di suatu hari bulan Oktober 1986.
Rilis: 1986

5. Shea Stadium – Marnie Stern
Di tengah dominasi lelaki, Marnie Stern adalah gitaris perempuan yang menggetarkan. Teknik two-handed tapping yang cepat bergelut dengan drum yang cepat dan berputar-putar, ditambah dengan vokal yang mengingatkan pada gaya bernyanyi Yoko Ono, menjadikan Marnie Stern, melalui lagu “Shea Stadium” ini, sebagai salah satu gitaris/rocker paling berbahaya. Kolaboratornya, Zach Hill adalah dewa drum di scene indie Amerika. Cover album berjudul panjang This Is It and I Am It and You Are It and So Is That and He Is It And She Is It And… (yang untuk ringkasnya kita sebut saja This Is It) ini berwarna hijau pupus bunga-bunga, seperti musim semi dengan bunga bermekaran. Marnie Stern adalah musim semi bagi dunia rock and roll yang terlalu dipenuhi alpha-male. Ia memberinya warna feminin. Saya beruntung memiliki album ini dalam format vinyl.
Rilis: 2008

6. Jet Boy – New York Dolls
Cikal bakal punk dan glam rock. “Jet Boy” yang menggelegar, riang dan gembira. Terdapat dalam debut album self-titled New York Dolls yang menggegerkan dunia musik yang tercengang dengan fashion warna warni dan gincu terang. Ketika dirilis dulu, album ini tidak terlalu laku. Namun mereka yang mengaku penggemar rock and roll wajib memiliki album yang telah menginspirasi banyak band belakangan, di antaranya Sex Pistols. Dua tahun lalu di toko vinyl Reckless Records di Chicago saya tidak berpikir panjang menyambar plat album dengan foto cover mereka berlima dengan gincu dan bedak tebal. Priceless.
Rilis: 1973
7. Rock and Roll All Nite – Kiss
Hanya satu pesan dari lagu ini: time to rock and roll, bersenang-senanglah! Gene Simmons dan Paul Stanley paling tahu bagaimana meramu rock and roll agar orang bisa bergembira sepanjang malam.
Rilis: 1975
8. Ever Fallen in Love? – The Buzzcocks
Punk, selalu direct, tidak berputar-putar, selesaikan dengan cepat dan keep it simple. “Ever Fallen in Love”” menjalankan kredo itu dengan menambahkan melodi dan rhythm yang catchy.
Rilis: 1978

SUMMER
Hampir sinonim dengan vakansi, panas dan rileks. Cukup bercelana pendek dan kaos katun. Traveling baik jalan darat bermobil melintasi highway inter-state yang sambung menyambung atau udara dengan bandara yang merepotkan. Alternatif lain saat kantong tipis: bermalas-malasan di rumah, membaca apa yang mau dibaca, bukan buku yang ‘dipaksa’ baca karena tugas kuliah.

1. Carrot Rope – Pavement
Anak saya yang berumur lima tahun pernah bertanya heran ketika mendengar lagu ini: “Why they sing about red ropes? It’s weird”.  Ia menangkap sepotong lirik dari Stephen Malkmus dalam “Carrot Rope”:  “…harness your hopes to the folks/with the liquor with the ropes/red red ropes..” Memang aneh dan nggak penting. Tetapi  itulah semangat yang dibawa Pavement, band yang disebut-sebut sebagai Pangeran Indie. Mereka adalah slacker, yang secara informal diartikan sebagai “an educated young adult characterized by cynicism and apathy“. Mereka yang muak dengan jargon, dengan industri. Bukan pemalas, tapi sekedar tidak mau ditentukan oleh orang lain atau oleh yang mainstream. Hidup santai, seperti berada dalam situasi vakansi permanen. Karena itu, tidak heran bila lirik-lirik Pavement dipenuhi fragmen-fragmen ‘nggak penting’ seperti red ropes tadi. Juga dengan nada-nada bengkok dan vokal Malkmus yang ‘terpeleset’ di beberapa tempat namun terdengar genuine dan akrab. Setelah kisah petualangan Nirvana yang berpindah dari indie ke mainstream berakhir tragis, Pavement adalah band yang me-revitalisasi semangat indie di Amerika.
Rilis: 1999
2. Buffalo Soldier – Bob Marley
Tipikal lagu-lagu reggae adalah rileks. Tetapi Bob Marley bukan penyanyi reggae biasa. “Buffalo Soldier” menjadi luar biasa karena pekat bercerita tentang sejarah pahit Amerika dan kelompok minoritas hitam dan suku Indian. Ia berkisah tentang sebuah resimen pasukan kavaleri Amerika yang beranggotakan orang kulit hitam dan memerangi suku Indian di pertengahan tahun 1800-an (he was taken from Africa/brought to America/fighting on arrival/fighting for survival). Seperti Soekarno, melalui “Buffalo Soldier” Bob Marley juga mengajarkan untuk tidak melupakan sejarah (if you know your history/then you would know where you coming from/then you wouldn’t have to ask me/who the heck do you think I am).
Rilis: 1983
3. Last Nite – The Strokes
Musim panas, musim riang gembira. Toh kencan bisa berantakan. Seperti “Last Nite” yang dinyanyikan dengan nada putus asa oleh Julian Casablanca. Riff-riff  elok dari Albert Hammond Jr pada gitar akan membuat mereka yang kencannya berantakan berhenti mengutuki diri sendiri bila mendengar lagu ini. Sekali waktu di tahun 2008, saya bawa vinyl album Is This It dimana “Last Nite” terdapat di dalamnya. Karena tidak muat dalam tas, saya tenteng melintas kampus hendak dipinjam oleh Taufiq Rahman (kolaborator saya di Jakartabeat.net, ketika itu masih kuliah di Northern Illinois University). Saya bersaksi bahwa banyak mahasiswa S1 Amerika, laki maupun perempuan, yang berpapasan menengok penuh rasa iri pada saya karena mereka mengenali art work cover album ini (versi Amerika, cover bergambar particle collisions dari laboratorium CERN di Jenewa; versi Inggris bergambar pinggul wanita setengah telanjang). Dalam hati saya terkekeh: “Gotcha kids!
Rilis: 2001
4. Sweet Jane – Velvet Underground
Lou Reed sebagai lyricist Velvet Underground biasanya kelam. Coba tengok album klasik bergambar pisang itu dipenuhi lirik dan lagu-lagu yang murung (tapi indah). “Sweet Jane” keluar dari pakem VU, mungkin karena ia ada dalam album VU yang paling aksesibel dan paling nge-pop, Loaded.  Lagu dengan chord gitar sederhana dan tone riang, bisa menemani minum teh setiap pagi di musim panas. Lou Reed adalah seorang penutur cerita ulung melalui lirik-liriknya, juga dalam “Sweet Jane” (I’ll tell you something/Jack, he is a banker/And Jane, she is a clerk/Both of them save their monies, ha/And when, when they come home from work/Oh, Sittin’ down by the fire, oh! /The radio does play/The classical music there, Jim/“The March of the Wooden Soldiers”/All you protest kids/You can hear Jack say, get ready, ah). Bacaan Lou Reed luas, ia belajar sastra dan jurnalistik di Syracuse University. Album Banana dan Loaded adalah dua album VU yang wajib dimiliki dalam format vinyl agar bisa Anda timang-timang, pandangi, gosok-gosok hingga mengkilat, dan putar setiap hari.
Rilis: 1970

5. Time for Heroes – The Libertines
Mendengarkan album Up the Bracket dari the Libertines seolah menyaksikan The Clash hidup kembali. Punk, garage rock revival atau apapun sebutannya, amat kental terdengar dalam the Libertines. Semuanya berpuncak pada track “Time for Heroes”. Rhythm dan melodi dari Pete Doherty dan Carl Barat bersahut-sahutan dengan rekaman lo-fi. Mendengarkan lagu sepanjang 2 menit 40 detik ini membuat saya bersandar dengan tenang dan bersyukur bahwa musik indah dan cerdas rock and roll tidak akan pernah kehabisan darah baru.  Mick Jones dari the Clash yang memproduseri album ini saya kira berpikiran sama.
Rilis: 2002

6. In the Aeroplane over the Sea – Neutral Milk Hotel
Judul lagu ini sepertinya menyiratkan suasana vakansi, menikmati pemandangan dari atas pesawat. Atau perasaan berdebar ketika akan mendarat di sebuah negeri atau kota yang belum pernah kita kunjungi, mengantisipasi berbagai hal baru yang menarik yang akan segera dialami. Sialnya, lirik lagu ini dianggap samar-samar, tidak jelas maknanya. Membuat orang berspekulasi bahwa sebetulnya Jeff Mangum, frontman Neutral Milk Hotel—band indie yang dihormati,  sedang bercerita tentang Anne Frank yang buku hariannya selamat dari periode kejam Nazi di Jerman. Gitar akustik dan horn section yang direkam lo-fi akan memaksa siapa saja merenung entah karena alasan apa. Judul lagu ini sama dengan judul albumnya, adalah album kedua Neutral Milk Hotel.
Rilis: 1988
7. The Bends – Radiohead
Kemarahan (angst) biasanya adalah mata air kreativitas rock and roll. Rock and roll hampir identik dengan protes dan pemberontakan. Thom Yorke dan kawan-kawan mentransformasi ide itu. Di tangan mereka, melankolia bisa terdengar sangat rock and roll. Dan melalui album The Bends lah, Radiohead memulai itu semua. Lagu “The Bends”, yang dipilih menjadi judul album kedua band ini, merangkum angst dan melankolia, cabikan gitar Jonny Greenwood di pertengahan  dan menjelang akhir lagu adalah pintu masuk kenikmatan tak bertepi.
Rilis: 1995

8. Only Shallow – My Bloody Valentine
Suara Bilinda Butcher yang intim dan misterius, mengejar dan menghantui, dilingkupi disonansi suara gitar berlapis-lapis dan eksesif, membentuk noise nan indah nian. Saya dapatkan vinyl-nya (album Loveless) di musim panas 2008 di toko vinyl Kiss The Sky di Geneva, sebuah kota kecil dekat Chicago. Dan sejak itu saya tersihir untuk selalu memandangi art work sampul album Loveless, album terbaik My Bloody Valentine yang belum tergantikan. Sampul merah, bergambar gitar blurred, yang berhasil menggambarkan keindahan yang keluar dari plat seberat 180 gram.
Rilis: 1991

AUTUMN/FALL
Murung dan dingin karena  orang mengantisipasi hal yang lebih ‘buruk’ lagi yaitu musim dingin yang menggigilkan. Daun-daun menguning, berguguran.

1. Silver Rocket – Sonic Youth
Dengan drum, rhythm dan bass line yang steady diawal lagu, bersiaplah menerima hujan meteorik distorsi gitar dipertengahan lagu dan gebukan drum yang berpacu. Track kedua dari album terbesar Sonic Youth, Daydream Nation, ini seperti representasi pergantian musim. Malas beranjak dari musim panas dan bersiap memasuki musim dingin. Tempo lagu yang berganti dan hasilnya adalah lagu yang meledakkan adrenalin ini. Matthew Stearn menulis untuk seri buku 33 1/3 yang legendaris itu, telaah brutal dan gila khusus untuk album Daydream Nation, yang rasanya hanya bisa ditulis oleh seorang penggemar yang sudah sampai pada tahap kronik tak lagi bisa diselamatkan.
Rilis: 1988

2. Eraser – No Age
Band dua orang, noise lo-fi yang membuat saya menahan nafas mendengarkan mereka. Lagu “Eraser” ada dalam album Noun, album kedua karya band indie yang bernaung di bawah Sub Pop ini (album pertama dirilis tahun 2007). Sungguh ini band underrated. Saya periksa The Rolling Stone Album Guide dengan tambahan sub-judul Completely Revised and Updated Fourth Edition (edisi 2008)  di rak buku saya, tidak ada entry untuk No Age. What’s in your mind, Jann Wenner?
Rilis: 2008

3. Saint Simon – The Shins
James Mercer, frontmant The Shins, saya duga adalah seorang santa. Kalau bukan, tidak mungkin akan tercipta lagu menghanyutkan seperti “Saint Simon” ini. Dibuka dengan simple chord, lalu hadir background vocal sayup-sayup lengkap dengan string section. The Shins adalah pop indie yang mengharu biru. Saya merasa berdebar-debar setiap memutar plat vinyl album Chutes Too Narrow yang dirilis oleh label indie jaminan mutu Sub Pop, dimana  lagu “Saint Simon” ada di dalamnya.
Rilis: 2003

4. How It Ends – DeVotchKa
Lagu yang hening dan mencekam. Bila Anda penggila video games, sangat mungkin akan menemukan lagu ini dalam Gears of War 2. Pilihan yang pas, perang selalu menjadi tragedi. Dan “How It Ends” menangkap kegelapan perang, dalam violin yang menyayat di akhir lagu.
Rilis: 2004
5. Flaming – Pink Floyd
Musim gugur tahun 2008 adalah masa yang tak terlupakan dalam studi saya. Itu masa-masa persiapan ujian komprehensif yang menakutkan semua mahasiswa doktoral di kampus-kampus Amerika Serikat. Lulus ujian komprehensif adalah tiket untuk tahap selanjutnya: menulis disertasi. Masa stress, Pink Floyd menemani. Di sana saya menemukan bahwa kegilaan dan kejeniusan tipis batasnya, atau malah pada diri Syd Barrett tak ada lagi batasnya. Saya curiga, Syd Barrett menjadi gila bukan karena penggunaan drugs yang eksesif seperti yang sering disebut orang. Album unik Pink Floyd, Piper at the Gates of Dawn adalah buah karya suri tauladan Syd Barrett yang dipenuhi bunyi-bunyi aneh yang sepertinya adalah bunyi-bunyi yang memenuhi kepala dan pikiran Syd, yang tidak bisa didengar orang lain kecuali dirinya sendiri. Skizofrenik. Bulu kuduk pasti merinding mendengar lagu “Flaming” yang direkam stereo dengan bunyi-bunyi seperti dari alam sebelah, berputar-putar di telinga. Tapi saya tak bisa lari, seperti tersihir dan memutarnya berulang-ulang.
Rilis: 1967
6. You Shook Me All Night Long – AC/DC
Brian Johnson membuktikan bahwa dia adalah pengganti yang sama baik, mungkin lebih baik, dari Bon Scott yang meninggal mendadak ketika AC/DC tengah menggarap album Back in Black ini. Ditemaini riff-riff dan hook gitar khas AC/DC dari Angus Young, vokalis Brian Johnson meniti nada-nada tinggi dalam “You Shook Me All Night Long” tanpa cela. Lagu ini adalah ode untuk para mahasiswa, atau siapa saja, yang harus membaca, menulis atau menuntaskan pekerjaan lain hingga dini hari. Dan malam musim gugur adalah malam-malam yang panjang.
Rilis: 1980
7. A Day in the Life – The Beatles
Buat saya, inilah lagu terbaik The Beatles dan ada di album terbaik, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Orkestrasi, piano yang chaotic di akhir lagu dan lirik lagu yang murung menimbulkan rasa indah yang ganjil setiap saat mendengar lagu ini. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan tentang lagu ini. Putar saja piringan hitamnya.
Rilis: 1967
8. London Calling – The Clash
Anderson Cooper, news anchor CNN, sekali waktu diminta majalah musik Blender membuat list album/lagu favoritnya. “London Calling” adalah lagu favoritnya, mengingatkannya pada perang di Sarajevo yang di tahun 1990-an harus ia liput sebagai wartawan. Ini yang ditulisnya di majalah Blender: “On the road into Sarajevo, during the war, I used to put the Clash in the dashboard because you were exposed to snipers and you were just holding on screaming. The Clash seemed very appropriate. I’m sure Joe Strummer would have approved.” Dengan beat ala lagu-lagu mars, “London Calling” adalah ingredient untuk obat kuat memasuki ruang ujian komprehensif. Klasik.
Rilis: 1979

WINTER
Kelabu, murung, dan tentu saja dingin menusuk tulang. Salju indah bergantung pada bagaimana melihatnya.

1. Neighborhood #2 (Laika)” – Arcade Fire
Dari album debut Arcade Fire yang menyegarkan. Lagu yang kaya nada. Riff gitar yang membawa aura megah. Anggota band yang terampil memainkan beragam alat musik membawa berkah penikmat lagu ini karena komposisi orkestrasi akordion, viola, violin, cello, xylophone yang keindahannya cukup untuk menimbulkan rasa hangat di telinga.
Rilis: 2004

2. Eria Tarka – The Mars Volta
Prog-metal dalam bentuk terbaiknya. Tempo berpindah-pindah, menggelora dan membara. Omar Rodriguez-Lopez dan Cedric Bixler-Zavala adalah duo motor maut yang meramu tema-tema kegilaan, kematian dan hal-hal kelam lain menjadi keindahan. Absurd.
Rilis: 2003
3. Seven Nation Army – The White Stripes
Gitar bluesy Jack White yang mengoyak telinga dan gebukan drum Meg White yang sederhana mendefinisikan lagu ini. Efek nya serupa dengan “London Calling” yang saya sebut tadi. “Seven Nation Army” menghangatkan badan, menembus salju dan temperatur membekukan. Bila Anda sempat menonton film dokumenter The White Stripes Under Great White Northern Lights (2009) dimana duo The White Stripes berkeliling konser di kota-kota kecil Kanada, di venue-venue kecil bukan rock arena di stadion olahraga,  akan terlihat betapa intimnya Jack dan Meg White membawakan lagu ini live. Rock and roll kelas berat juga bisa romantik…
Rilis: 2003

4. Mary Anne with the Shaky Hand – The Who
Artefak the Who dari era  psikedelia. Harmonisasi vokal dan akustik mungkin akan mengurangi kemurungan di musim dingin. Ditambah dengan lirik lagu yang membuat tersenyum menebak-nebak (I danced with Linda/I danced with Jean/I danced with Cindy/Then I suddenly see/Mary-Anne with the shaky hands/What they’ve done to her man/Those shaky hands). Lagu ini ada dalam album The Who yang jarang dibicarakan (The Who Sell Out), yang semestinya penting karena ia merefleksikan sebuah era rock and roll Inggris yaitu era pirate radio ‘berkuasa’. Album ini adalah satir the Who untuk pirate radio dan jingle-jingle iklan.
Rilis: 1967
5. Disarm – The Smashing Pumpkins
Tak puas dengan CD dan format digital, saya memburu piringan hitam album Siamese Dream demi mengejar “Disarm”. Saya membayangkan nikmatnya “Disarm” dengan kualitas suara vinyl yang ‘tebal’. Ditambah lagi dengan string section yang menghiasinya (menurut saya, sebetulnya tidak semua lagu/album enak didengar dalam format vinyl, hanya lagu yang multi-instrumen dan multi tekstur yang lebih baik didengar dalam vinyl. Di luar itu, kaset, CD dan mp3 sama saja nikmatnya). Akhirnya saya dapatkan juga vinyl-nya, di suatu hari di musim dingin 2008. Entah sudah berapa kali lagu ini saya dengar, rasa bosan tak pernah menghampiri.
Rilis: 1993
6. Fight Test – The Flaming Lips
Dari album Yoshimi Battles Pink Robot yang sering membuat saya tersedak menahan haru karena dicekam rasa indah ketika memutarnya. “Fight Test” di beberapa tempat dinyanyikan indah oleh Wayne Coyne. Ditaburi background vokal seperti angin semilir, bunyi-bunyian berlapis-lapis yang kaya, seperti keindahan yang datang dari langit. Di jaringan social media Last.fm saya bergabung dengan sebuah kelompok bernama “I listen to music when I am sleeping”. Ya, saya sering tidur dengan iPod terpasang di telinga dan album Yoshimi disetel dalam shuffle mode. Sampai pagi.
Rilis: 2002

7. Rainy Nights in Soho – The Pogues
Punk adalah lokal dan tentang attitude. The Pogues adalah soal attitude, dengan warna Irlandia/Celtics (ingat-ingat, stereotype orang Irlandia sebagai pemabuk yang berisik). Vokal Shane McGowan bisa mengecoh penggemar Tom Waits, seperti pada “Rainy Nights in Soho” ini. Album Rum, Sodomy, and the Lash lah yang memuat lagu “Rainy Nights in Soho”. Karena judul album dan gambar cover yang provokatif, saya menjauhkannya dari pandangan anak-anak ketimbang menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tidak bisa saya jawab.
Rilis: 1985

8. San Diego Serenade – Tom Waits
Piano, string section dan bass yang ditata rapi plus suara Tom Waits yang tak tergantikan. Rock ballad dalam bentuk yang paling orisinal. Suasana kelabu musim dingin dan salju yang turun adalah sebuah keindahan, bukan kutukan, bila pada saat yang sama lagu ini mampir ke telinga.  Good Night!
Rilis: 1974

___________________

Selain berprofesi sebagai peneliti di CSIS, sang maniak piringan hitam ini adalah kandidat doktor ilmu politik Northern Illinois University, AS. Kecintaan PJV pada musik serta sub kultur pendukungnya telah mendorongnya memproklamirkan jakartabeat.net, satu dari sedikit website Indonesia nan intelek, muda, kritis sekaligus tak melenceng dari koridor rock-n-roll. PJV hingga kini masih menetap di Amerika Serikat untuk menyelesaikan kuliahnya. Apakah dia akan kembali ke Nusantara? Semoga saja. Negara yang hampir kolaps ini butuh pilar pintar macam PJV agar tetap bisa berdiri tegak-tegar.

___________________

» Radio streaming live http://army.wavestreamer.com:6356/listen.pls. Or download the whole playlist here

Upcoming show/exhibitions*:
– Feb 16 | Exhibition: Taufiq Rahman (writer, vinyl junkie)
– Feb 23 | Exhibition: Meita Kasim (writer, ex-music director of Hard Rock FM Jakarta, ex-singer of Wondergel)
– Mar 02 | Exhibition: Robin Malau (entrepreneur, Indonesia’s hardcore pioneer via Puppen)
– Mar 09 | Exhibition: Acum (asst. Managing Editor of Trax mag, vocalist of Bangkutaman)
– Mar 16 | Exhibition: Che (vocalist of Cupumanik, founder of Jeune mag)
– Mar 23 | Exhibition: Santi YZ (manager of Koil, senior acct. executive Rolling Stone Indonesia)
– Mar 30 | Exhibition: Henry Foundation (voice & programmer of Goodnight Electric)
And more shows and exhibitions by oomleo, Ardy Chambers, Anto Arief, Kemir, Philip Mimbimi, etc.

See y’all again next Wednesday!

Boozed, Broozed, and Broken-boned,
RUDOLF DETHU

*subject to change
____________________

The Block Rockin’ Beats
Curator: Rudolf Dethu
Every Wednesday, 8 – 10 PM
The Beat Radio Plus – Bali, 98.5 FM

120 minutes of cock-melting tunes.
No bullcrap.
Zero horse shit.
Rad-ass rebel without a pause.

Shut up and slamdance!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top