search

Rock-n-Roll Exhibition: DANIE SATRIO

Tonite! May 04, 2011Rock-n-Roll Exhibition: DANIE SATRIOAll Those (Very, Very) Lucky Bastards:: Playlist, intro, song descriptions, and photos, written and handpicked by Danie Himself :: Kemampuan menyanyi, bagi saya, adalah sebuah anugerah. Tak usah pikirkan seberapa khas suaranya, seberapa besar kharismanya, bisa menyanyi dengan baik dan benar alias tak fals saja adalah sebuah pemberian yang sangat berharga. Karena tak semua orang, ternyata, bisa menyanyi dengan kriteria yang saya sebut di atas. (Ini sudah dibuktikan di beberapa ajang pencarian idola di layar kaca. Dan bukan sekali dua kali saya alami sendiri ketika didaulat untuk jadi juri di beberapa kompetisi band.) Tak kurang beruntungnya, adalah mereka yang dipilih untuk bisa menangkap-dan-kemudian merangkai nada-nada yang bebas berkeliaran di mana saja, lalu menggabungkannya dengan kata-kata atau kalimat-kalimat menjadi sebuah lagu utuh. Apalagi ketika kemudian lagu itu mampu menggugah perasaan sekian ratus, ribu, bahkan juta orang. Untuk ikut merasakan, mencerna perlahan, lalu terhanyut di dalamnya. Dan kemudian mengapresiasi semua itu dengan cara membeli karya tersebut dan menjadikan pembuatnya pujaan. (Kalau belum pernah membuat lagu utuh, saran saya, cobalah. Maka Anda bisa merasakan sendiri betapa sungguh sangat tak sepelenya urusan satu ini.). Di atas semua, yang---bahkan sumpah serapah paling kasar pun tak cukup melukiskan perasaan iri saya---paling beruntung adalah manusia-manusia yang memiliki kedua talenta di atas lalu dengan manis mampu menggabungkannya dalam sebuah kemasan yang layak---bahkan sering kali, lebih---untuk dipaparkan pada dunia dan seisinya. Mereka---yang kerap disebut sebagai singer/songwriter---inilah yang menurut saya para pewarna sejati dunia. Terutama kalau kita sama-sama percaya bahwa musik (dalam konteks ini musik populer) punya andil dan kekuatan besar dalam mewarnai hidup manusia. Yes, IMHO, these kind of people really are the luckiest bastards… Paparan saya malam ini adalah semacam mini-tribute pada mereka para lucky bastards yang dengan gaya masing-masing sudah turut mewarnai dunia. Setidaknya, dunia versi saya. ・Notes: untuk edisi ini sengaja saya pilih all-male singer/songwriters. Bukan lantaran kecenderungan orientasi seksual tertentu atau justru sexist. Melainkan semata-mata lantaran jatah durasi yang diberikan baru cukup untuk yang pria. Kali lain, kalau diberi kesempatan lagi, saya coba paparkan playlist all-female…
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Edition: May 04, 2011

Rock-n-Roll Exhibition: DANIE SATRIO
All Those (Very, Very) Lucky Bastards

:: Playlist, intro, song descriptions, and photos, written and handpicked by Danie Himself ::

Kemampuan menyanyi, bagi saya, adalah sebuah anugerah. Tak usah pikirkan seberapa khas suaranya, seberapa besar kharismanya, bisa menyanyi dengan baik dan benar alias tak fals saja adalah sebuah pemberian yang sangat berharga. Karena tak semua orang, ternyata, bisa menyanyi dengan kriteria yang saya sebut di atas. (Ini sudah dibuktikan di beberapa ajang pencarian idola di layar kaca. Dan bukan sekali dua kali saya alami sendiri ketika didaulat untuk jadi juri di beberapa kompetisi band.)

Tak kurang beruntungnya, adalah mereka yang dipilih untuk bisa menangkap-dan-kemudian merangkai nada-nada yang bebas berkeliaran di mana saja, lalu menggabungkannya dengan kata-kata atau kalimat-kalimat menjadi sebuah lagu utuh. Apalagi ketika kemudian lagu itu mampu menggugah perasaan sekian ratus, ribu, bahkan juta orang. Untuk ikut merasakan, mencerna perlahan, lalu terhanyut di dalamnya. Dan kemudian mengapresiasi semua itu dengan cara membeli karya tersebut dan menjadikan pembuatnya pujaan. (Kalau belum pernah membuat lagu utuh, saran saya, cobalah. Maka Anda bisa merasakan sendiri betapa sungguh sangat tak sepelenya urusan satu ini.).

Di atas semua, yang—bahkan sumpah serapah paling kasar pun tak cukup melukiskan perasaan iri saya—paling beruntung adalah manusia-manusia yang memiliki kedua talenta di atas lalu dengan manis mampu menggabungkannya dalam sebuah kemasan yang layak—bahkan sering kali, lebih—untuk dipaparkan pada dunia dan seisinya.

Mereka—yang kerap disebut sebagai singer/songwriter—inilah yang menurut saya para pewarna sejati dunia. Terutama kalau kita sama-sama percaya bahwa musik (dalam konteks ini musik populer) punya andil dan kekuatan besar dalam mewarnai hidup manusia. Yes, IMHO, these kind of people really are the luckiest bastards…

Paparan saya malam ini adalah semacam mini-tribute pada mereka para lucky bastards yang dengan gaya masing-masing sudah turut mewarnai dunia. Setidaknya, dunia versi saya.

Notes: untuk edisi ini sengaja saya pilih all-male singer/songwriters. Bukan lantaran kecenderungan orientasi seksual tertentu atau justru sexist. Melainkan semata-mata lantaran jatah durasi yang diberikan baru cukup untuk yang pria. Kali lain, kalau diberi kesempatan lagi, saya coba paparkan playlist all-female…

The Playlist:

01. Oh Sherrie – Steve Perry
Situs allmusic.com menulis, “If only one singer could be selected as the most identifiable with ’80s arena rock, it would have to be Journey’s Steve Perry.” I’ll cheers to that…
Album: Street Talk/Year Released: 1984

02. You Can Call Me Al – Paul Simon
Ketika maestro ballad-folk mulai menjajal musik afro sebagai ornamen musiknya, rasanya hidup saya agak kurang lengkap jika melewatkannya. Hasilnya? Adiksi sejak percobaan pertama.
Graceland/1986

03. So Damn Lucky – Dave Matthews
Ketertarikan saya pada Dave Matthews bermula saat melihat klip “Ant’s Marching”. Selain bebunyian yang mereka produksi (berapa banyak band di awal ’90-an yang muncul dengan sound clean tanpa distorsi ala grunge?), formasi mereka pun menarik minat saya (gitar akustik, bas, drum bisa jadi standar. Tapi keberadaan violis dan saksofonis?). Keberadaan band-nya pun unik. Mereka tak pernah betul-betul menjadi band jutaan kopi, namun punya segambreng penggemar loyal yang siap bepergian ke manapun untuk menonton konser mereka. Sampai sekarang saya masih mengidamkan menjadi anggota band seperti itu…
Some Devil/2003

04. Somebody Like You – Keith Urban
Contoh elaborasi ciamik country dan arena rock. Ketika tersiar kabar bahwa dia berhasil menyunting Nicole Kidman, buat saya, Urban langsung menjadi saingan terberat John Mayer dalam daftar pria-pria yang paling layak dicemburui.
Golden Road/2002

05. Across The Universe – Rufus Wainwright
Saya suka The Beatles. Dan saya suka siapa pun yang mampu membawakan lagi karya-karya mereka dengan interpretasi sendiri, tanpa mengurangi makna aslinya. Saya akan lebih salut jika hasil re-interpretasi itu bisa menambah makna atau membuatnya menjadi sebuah karya yang lama-tapi-baru. Nah, yang terakhir ini yang menurut saya sukses dilakukan Wainwright.
OST I Am Sam/2001

06. You’re the Ocean – Teitur
Pertama mendengar di satu radio swasta Jakarta. Langsung jatuh cinta dengan kecerdikan aransemennya dalam mengakali pola rotasi birama 6/8. Tercatat juga sebagai salah satu CD yang paling alot saya dapatkan serta jadi favorit hingga saat ini…
Poetry & Aeroplanes/2003

07. Still Fighting It – Ben Folds
Punk with piano? Kenapa tidak! Lewat Ben Folds Five, Benjamin Scott Folds sukses membuktikannya. Tapi bukan itu yang membuat saya jatuh cinta pada lagu ini. Sila dengarkan liriknya. Sebuah monolog berisi keraguan sekaligus optimisme akan tugas besar menjadi ayah. Kerap menjadi pengingat yang ampuh ketika saya mulai terlena dengan pekerjaan rutin di kantor. I dedicate this song to all those struggling-head banging fathers out there. You rock!
Rocking The Suburbs/2001

08. Why Do They Leave? – Ryan Adams
Agak sulit mulanya, berkenalan dengan dunia Ryan Adams. Butuh beberapa kali menjalani ritual “kunyah, cerna lalu telan” baru bisa paham. Tak apalah. Kadang memang begitu seharusnya. Apalagi, setelah kenal, saya selalu ingin kembali dan kembali lagi.
Heartbreaker/2000

09. Solsbury Hill – Peter Gabriel
Satu contoh betapa odd-tempo bisa terdengar begitu menyenangkan jika dikemas ciamik. Dengan mood dan aransemen instrumentasi sesimpel ini, you barely notice that this song is actually relying on a- 7/4 time signature. Pola birama yang biasanya sulit menembus chart populer. Even Gabriel’s so proud of this own song!
Peter Gabriel/1977

10. Ashes To Ashes – David Bowie
Bila dideskripsikan hubungan saya dengan karya-karya Bowie itu seperti love and hate relationship. Sebuah perjuangan ekstra bagi saya untuk menyelami esensi karyanya. Sebuah proses yang sampai sekarang masih terus berjalan dan belum membuat saya jera. Lagu ini adalah salah satu titik di mana kami bisa berjalan berdampingan dengan nyaman.
Scary Monsters (and Super Creeps)/1980

11. That’s What Friends are For – Rod Stewart
Ya. Saya tahu. Lagu ini lebih populer ketika dinyanyikan ulang oleh Dionne Warwick cs. Dan saya tahu pula betapa un-rock n roll-nya lagu ini bahkan ketika dinyanyikan oleh Stewart. Bahkan saya tahu bahwa lagu ini pun bukan besutan Stewart sendiri, serta pernah menjadi end-credit theme di film komedi absurd ‘80an. Buat saya, it’s plain good song. A song that make you think. A song that actually speaks. Tak heran akhirnya diganjar Grammy.
OST. Night Shift/1982

12. Sanggupkah Aku – Andy Liany
Saya sering berangan-angan, membayangkan, seandainya dia belum meninggal. Akan seperti apakah karirnya sekarang. Good man, good musician, and simply one of the best rock vocalist Indonesia’s ever had…
Misteri/1993

13. Preaching the End of the World – Chris Cornell
Yang saya suka dari album Cornell pasca-Soundgarden ini adalah terjaganya cita rasa grunge dengan arahan lain. Yang lebih intim, dan kontemplatif. Saran saya saat mendengar, redupkan sedikit lampu kamar lalu pejamkan mata.
Euphoria Morning/1999

14. Live and Let Die – Paul McCartney
Thank God, Harry Saltzman didn’t make his second mistake by not letting in this beautiful yet ambitious song in the movie…
Live and Let Die/1973

15. Mata Dewa – Iwan Fals
Iwan + Ian. Need I explain more?
Mata Dewa/1989

16. Piano Man – Billy Joel
Jika Inggris punya Elton John, Amerika punya Billy Joel. Ya. Piano dan rock bukan dua kutub yang berbeda. Melainkan komplimentari yang jika disintesa dengan baik akan menjadi abadi. Sampai sekarang saya masih menunggu munculnya pianis Indonesia yang punya attitude seperti mereka berdua…
Piano Man/1973

17. Summer of ’69 – Bryan Adams
Simply stomping arena-sized rock. Banyak membantu dalam mengangkat mood untuk berkendara di pagi hari. Terutama saat harus membelah kemacetan Jakarta. Sila coba sendiri…
Reckless/1985

18. It Don’t Matter to Me – Phil Collins
Tidak ingat kapan pertama kali mendengar lagu ini. Yang jelas sampai sekarang masih selalu kagum dengan keputusan Phil untuk membuat pattern drumnya bernyanyi mengikuti sinkopasi horn-section nyaris di sepanjang lagu. Damn, he’s good!
Hello, I Must Be Going!/1982

19. Like a Rolling Stone – Bob Dylan
Bagi saya, Dylan adalah contoh terbaik bahwa untuk jadi legenda di dunia tarik suara ternyata tak perlu punya suara emas bak dari surga. Oh ya. Sedikit info, lagu ini adalah salah satu pinnacle saat Dylan mulai mengelaborasi elemen elektrik dan attitude rock dalam karyanya.
Highway 61 Revisited/1965


20. Horse Called War – Pride & Glory
Yap. Ini mungkin agak melenceng dari kaidah singer/songwriter tradisional. Biar sajalah. Yang pasti, Pride & Glory sejatinya adalah proyek debut seorang Zakk Wylde dalam membangun karirnya sebagai frontman seutuhnya. Lepas dari imaji gitaris andal yang melekat setelah sekian lama bekerja bersama Ozzy Osbourne. Dan harus diakui, dia berhasil. “(Musik) Pride & Glory ibaratnya bir. Sementara Black Label Society itu wiski…,” katanya dalam sebuah wawancara. Saya sendiri lebih memilih bir daripada wiski…
Pride & Glory/1994

21. My Sweet Lord – George Harrison
Bisa jadi ini bukan karya terbaik Harrison. Tapi bagi saya, adalah sebuah keajaiban ketika mantra-mantra Hindu bisa terelaborasi apik dalam kaidah komposisi pop Barat. Sudah begitu, menjadi #1 hit pula pada jamannya.
All Things Must Pass/1970

22. Love Somebody – Rick Springfield
Salah satu antek Down Under yang berjaya menginvasi Amerika dan kemudian dunia. Mulanya dia mengusung konsep troubadour bagi musiknya. Tapi justru formulasi simple-straight-all-American rock macam ini yang membuatnya menjulang. Ditambah faktor tampangnya yang memang media-friendly, jadilah Rick pujaan perempuan muda di masanya. Track ini sendiri selalu membuat saya terbayang prom nite di SMA kelas menengah Amerika pada era ’80-an. Such a feel-good music…
Hard to Hold/1984

23. Lilac Wine – Jeff Buckley
Penyanyi yang baik adalah mereka yang punya kemampuan untuk menerjemahkan dengan sempurna, tak hanya lagu buatannya sendiri. Tetapi juga buatan orang lain. Sementara penyanyi jenius adalah dia yang bisa meredefinisi sekaligus membuat lagu orang lain menjadi miliknya sendiri. Jeff Buckley termasuk golongan yang terakhir…
Grace/1994

24. Alma Matters – Morrissey
Mungkin bagi beberapa pihak agak kurang bisa diterima. Tapi jujur saja. Saya lebih menikmati album-album solo Morrissey ketimbang ketika ia masih bersama The Smiths. Dan – please spare me too on this one – lagu ini menurut saya lebih cool daripada “The More You Ignore Me, The Closer I Get”…
Maladjusted/1997

25. Sundown at Midnight – Fariz RM
Selain spelling dan grammar, persoalan utama yang paling sering terjadi pada musisi Indonesia ketika ingin membuat komposisi lirik berbahasa Inggris, adalah logika bahasa. Sungguh tak sedap mendengar logika bahasa Indonesia diterjemahkan mentah-mentah dalam bahasa Inggris. Walau sudah banyak berkurang, tapi kini masih sering terjadi. Fariz sudah mampu mengatasi hal itu di lagu ini jauh sebelum yang lain menyadarinya.
Living in the Western World/1988

26. Babylon – David Gray
Bagaimana membuat folk tradisional menjadi hip kembali? Campurkan saja elemen dance/electronica sebagai sampling. Tidak percaya? David Gray sudah membuktikannya. Dan dia berhasil.
White Ladder/1999

27. The Boys of Summer – Don Henley
Saya bukan penggemar fanatik The Eagles. Hanya beberapa lagu mereka yang saya suka dan cukup hafal. Bukan kebetulan jika beberapa lagu itu adalah besutan Henley. Tak heran saat dia bersolo karir, lagu-lagunya terasa akrab di kuping saya. Termasuk singel ini. Selalu masuk playlist saya untuk berkendara pagi hari.
Building the Perfect Beast/1984

28. Woman – John Lennon
Konon saat dirilis, tak banyak yang percaya kalau lagu ini buatan Lennon. Terlalu “manis” buat imejnya yang di mata dunia sudah masuk kategori uber-revolutionaire. Perhatikan dan simak saja alur melodi, aransemen, serta liriknya yang superromantis namun tetap mengandung kekuatan rima ala Lennon. Bahkan McCartney pun konon sempat “menyesali”, kenapa bukan dia yang mencipta lagu ini…
Double Fantasy/1980

29. The First Day of My Life – Bright Eyes
Indie folk, bagi saya adalah sebuah oase ketika telinga ini mulai terlanda kemarau akibat terpaan dahsyat musik industri (baca: mainstream). Dan Conor Oberst, selalu menjadi oase yang pertama kali saya reguk buat memuaskan dahaga itu.
I’m Wide Awake, It’s Morning/2005

30. Good Love is on The Way – John Mayer
Tampang, suara, lagu, gitar, pacar (dan mantan pacar)… Apa lagi yang tak bikin manusia satu ini masuk dalam urutan teratas di daftar pria yang layak dicemburui habis-habisan?
Try!/2005

31. Lullaby – Shawn Mullins
Tak ingat kapan persisnya saya jatuh cinta dengan lagu ini. Tapi rasanya wajar saja kalau hingga sekarang lagu ini kerap terngiang di telinga. Coba simak betapa simpel tapi powerful-nya jalinan nada, kord serta struktur lagu ini. Begitu juga dengan pemanfaatan looping drum yang kemudian ditingkah akustik drum yang membuat dinamikanya jadi tak membosankan didengar berulang. Walaupun lirik reffrain-nya repetitif.
Soul’s Core/1998

32. Your Smiling Face – James Taylor
Gampang saja. Jika seorang Paul McCartney sampai mengakui kehebatannya dan mau merekrut dia sebagai artis Amerika pertama di Apple Records, berarti orang itu benar-benar punya sesuatu…
JT/1977

33. Good People – Jack Johnson
… Soothing voice, simple-yet-smart arrangement, raw sounds, positively sarcastic lyrics…. Add some coconut and you’re ready to hit your own private beach…
In Between Dreams/2005

34. The Way It Is – Bruce Hornsby and the Range
Lagi-lagi piano based-song. Lagu ini pasti pernah hinggap dan akrab di telinga siapa saja yang rajin menonton siaran langsung NBA di TV swasta pertama di Indonesia pada era keemasan Michael Jordan, Larry Bird, serta Magic Johnson. Simak betapa distingtifnya sound piano serta gaya permainan Bruce. Absolutely got hooks in every aspects…
The Way It Is/1986

35. Seven Days – Sting
Menyukai karya-karyanya semenjak masih bersama The Police, yang membuat saya makin terpesona pada Gordon Matthew Sumner alias Sting ketika bersolo karir adalah kelihaiannya mempermainkan birama aneh sehingga terdengar wajar cenderung nyaman didengar. Permainan metafora di lirik-liriknya pun dahsyat. Membuat saya ingin sesekali menjenguk koleksi buku di perpustakaan pribadinya.
Ten Summoner’s Tales/1993

____________________

Danie Satrio boleh saja menganggap bahwa deretan penyanyi di playlist-nya adalah para lucky bastards. Tapi sebenarnya ia sendiri nota bene dari spesies sejenis. Bagaimana tidak, sejak ia SMP telah bermimpi bekerja di majalah Hai dan kini, tidak saja ia berhasil meraih mimpinya, ia bahkan digdaya mencapai posisi prestisius di Hai (dan produk turunannya) yakni Editor-in-chief. Walau kurang bisa maksimal menjalankan hobinya bermain musik namun kegiatan menulis dan mengelola media yang menyasar anak muda justru menjadi kompensasi yang duhai menarik dan kaya dinamika bagi Danie. Di sela jadwalnya yang padat, Danie masih sempat mengiyakan ajakan menjadi juri bagi banyak ajang festival band mahsyur.

___________________

» Download the whole playlist here.

Upcoming show/exhibitions*:
– May 11 | Exhibition: Andre Opa (managing director of Trax magazine)
– May 18 | Exhibition: Ricky Surya Virgana (bassist of White Shoes and the Couples Company, cellist of Weltevreden Trio)
– May 25 | Exhibition: Phil Mimbimi (Executive Chef of Nutmeg/Hu’u)
And more shows and exhibitions by Kemir, Coki Singgih, Adi Cumi, Tony Tandun, Sasa Serban, Anto Arief, etc in June-July.

See y’all again next Wednesday!

Boozed, Broozed, and Broken-boned,
RUDOLF DETHU
*subject to change
____________________

The Block Rockin’ Beats
Curator: Rudolf Dethu
Every Wednesday, 8 – 10 PM
The Beat Radio Plus – Bali, 98.5 FM

120 minutes of cock-melting tunes.
No bullcrap.
Zero horse shit.
Rad-ass rebel without a pause.

Shut up and slamdance!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top