search

Raksasa: Laskar Pelangi Indie

Jika memperhatikan sosok orang-orang yang terlibat maka spontan muncul kesimpulan: dream team, all stars, dan segala tajuk yang menggambarkan sebuah kolaborasi duh-ideal.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

↓ For English version please scroll down

Jika memperhatikan sosok orang-orang yang terlibat maka spontan muncul kesimpulan: dream team, all stars, dan segala tajuk yang menggambarkan sebuah kolaborasi duh-ideal. Bagaimana tidak, bayangkan sebuah grup musik yang anggotanya adalah veteran indie macam Adi Cumi (personel Fable) sebagai biduan, Iman Fattah (anggota Zeke and the Popo sekaligus produser Tika and the Dissidents) pada gitar, Bonny Sidharta (punggawa Deadsquad) bertanggungjawab untuk bas, Franki Indrasmoro alias Pepeng (NAIF) di departemen drum serta solois aktivis delta blues, Adrian Adioetomo, mengurusi gitar. Mereka, para individu digdaya itu, bergabung dalam sebuah kelompok bernama Raksasa.

Pertama kali muncul ke publik pada Agustus 2008, Adib Hidayat, figur berpengaruh di skena musik Indonesia, adalah pemrakarsa pertama Raksasa. Saat itu masih menggunakan nama Indie All Stars serta formasi sedikit berbeda, mereka memutuskan mengubah nama menjadi Raksasa pasca menyanyikan lagu milik God Bless.

Akhirnya pada Agustus 2010 kuintet ini menerbitkan single pertamanya, “Pesawatku Delay”, sepucuk tembang usil bernuansa blues rock yang menyindir kinerja maskapai penerbangan negeri ini. Berlanjut pada Agustus 2011 merilis racikan kedua bertajuk “Insomnia”. Sampai finalnya kemudian lahirlah album perdana berjudul sama dengan nama band pada 26 November 2011, Raksasa.

Album berisikan 9 lagu ini didominasi oleh komposisi bertempo cepat, progresif, namun tetap nyaman dikonsumsi kuping. Tentu saja fenomena sejenis itu bisa termunculkan akibat faktor saling silang nan berbahaya antara Pepeng dengan ciri khas aksi drumnya yang rock-n-roll lagi nakal, ditimpali permainan bas Bonny yang keras-bertenaga, diperkuat duel gitar blues-psychedelic + experimental sound oleh Iman Fattah serta Adrian Adioetomo dengan manuver slide-nya, serta ditingkahi vokal melengking tinggi dari Adi Cumi. Didistribusikan oleh demajors, sampul album ini dikerjakan sendiri oleh sang penyanyi Adi Cumi yang notabene memang seorang seniman visual berbakat.

Ikuti terus perkembangan terkini Raksasa lewat blog mereka di http://raksasaband.wordpress.com

English version

Raksasa is a new supergroup consisting of indie music movers and shakers: Adi Cumi (frontman of Fable) on vocal, Iman Fattah (Zeke and the Popo, Tika and the Dissidents) on guitar, Bonny Sidharta (Deadsquad) on bass, Pepeng (NAIF) on drums, and delta blues acitivist Adrian Adioetomo on guitar.

Founded in August 2008 by Adib Hidayat, a key figure in Indonesian music scene, Raksasa released their first single in August 2010, “Pesawatku Delay”, and their second in August 2011 called “Insomnia”. Finally their self-titled debut album published on November 26, 2011.

The fast tempo, progressive, yet listenable album consist of nine songs and distributed by demajors. While Adi Cumi himself did the artwork for the album.

Stay updated with Raksasa by frequently visiting their blog http://raksasa.wordpress.com

SEE ALSO
Domestic Groove: ADRIAN ADIOETOMO
Insomnia

_____________

• This article was firstly published on The Beat (Jakarta) #53, December, 2011

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top