search

Punk Rock di Bali: Legenda Lalu dan Kisah Kini

Ketika garage rock bertempo lebih cepat dan berdurasi lebih pendek alias protopunk---cikal bakal punk rock---mulai menggeliat di CBGB, New York, pada pertengahan 70an lewat aksi Ramones, Patti Smith, Dead Boys, Mink DeVille, Blondie, Television, dsb;
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Djihad

Ketika garage rock bertempo lebih cepat dan berdurasi lebih pendek alias protopunk—cikal bakal punk rock—mulai menggeliat di CBGB, New York, pada pertengahan 70an lewat aksi Ramones, Patti Smith, Dead Boys, Mink DeVille, Blondie, Television, dsb; Indonesia masih belum terlalu terimbas dampaknya. Kebanyakan metropolitan di Nusantara justru sedang keranjingan hard rock; salah satunya gara-gara kedatangan Deep Purple ke Jakarta. Baru saat album Sex Pistols Never Mind the Bollocks yang sejatinya terbit pada 1977 namun baru beredar di negeri ini di awal 80an berpindah dari satu tangan anak muda ke anak muda lainnya, virus punk rock lambat lagi keramat mulai menginfeksi.

Berturut-turut kemudian album kompilasi macam Punk Rock Super Hits volume 1 dan 2 yang menyodorkan tembang di antaranya “This Perfect Day” (The Saints), “Sonic Reducer” (Dead Boys), “Holidays in the Sun” (Sex Pistols), “Blitzkrieg Bop” (Ramones), “Ask the Angels” (Patti Smith), serta beberapa varian sejenis merecoki toko kaset, seketika saja para remaja kelojotan menggilainya. Termasuk di Bali. Satu-dua grup musik lokal mulai coba-coba membawakan lagu Sex Pistols di atas panggung. Di kala itu, antara 1982 hingga 1986an, oleh kalangan belia punk rock sekadar dirangkul dalam tatanan fashion, semata urusan tampil keren, beringas, berisik dan berbeda saja.

Pamor punk rock sedikit meredup setelah itu akibat serbuan gencar heavy metal. Para anak muda beramai-ramai beralih ke Iron Maiden, Mötley Crüe, Def Leppard, dan sebangsanya; walau tak berarti mereka membuang Never Mind the Bollocks ke tempat sampah.

Tren punk rock edisi berikutnya menggejala pada pertengahan 90an. Gerakan bawah tanah di Bali di awal 90an yang didominasi penggiat musik extreme metal yang notabene kerap menyelenggarakan pentas-pentas swadaya mulai mengajakserta musisi punk rock. Salah satu peristiwa bersejarah bagi eksistensi punk rock di awal paruh kedua di Pulau Dewata adalah Total Uyut pada 20 Oktober 1996 di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Selain merupakan konser musik bawah tanah terbesar pertama, pula menampilkan grup-grup lokal yang saat itu cukup menonjol di skena punk rock—selain extreme metal tentu saja—semisal Superman Is Dead, Pokoke, dan Triple Punk. Beberapa bulan sebelumnya, pada 2 Februari 1996, Green Day, menyambangi Jakarta. Kedatangan trio pop punk asal California, AS, tersebut memiliki peran signifikan bagi tumbuhkembangnya punk rock di Indonesia pada umumnya serta Bali pada khususnya. Bukan cuma para remaja menjadi terinspirasi membentuk band punk rock, atau berpindah genre ke punk rock, atau kian teryakinkan bahwa pilihan jalan punk rock sudah benar.

Tonggak penting lokal selanjutnya adalah saat dirilisnya album Case 15 oleh Superman Is Dead pada 1997. Di era sekitar itu juga saya yang saat itu sedang berkelana di benua Amerika rajin mengirimkan kaset kompilasi bikinan sendiri bertaburkan lagu-lagu punk rock monumental 70-80an ke sejawat di Denpasar. Album-album ini ternyata agresif bermigrasi dari satu aktivis ke aktivis punk rock lainnya, termasuk JRX dan Lolot yang ketika itu saya belum kenal. Lalu paguyuban Underdog menerbitkan album kompilasi Underdog Society pada 1998 yang sebagian diisi oleh grup musik punk rock seperti Criminal Asshole dan Total Idiot. Di tahun yang sama pula beberapa radio FM mulai menampilkan program khusus musik alternatif seperti Cassanova via “Alternative Airplay”—kebetulan saya yang menjadi produser sekaligus penyiarnya—juga Top FM. Tiap kali acara tayang, berbondong-bondong anak muda datang ke radio sekadar kongkow-kongkow. Karya-karya anak muda lokal (utamanya asal Denpasar) mulai kerap diperdengarkan ke publik. Dari seringnya bertukar pikiran di Cassanova bermuara pada munculnya album kompilasi 100% Attitude di tahun 1999 yang diramaikan oleh Superman Is Dead, Djihad, Emocore Revolver, dsb. Sementara gedung Lila Bhuana hampir tiap bulan ada konser—umumnya didominasi oleh grup beraliran punk rock—baik berformat D.I.Y. (Do-It-Yourself) atau sekadar sponsor recehan. Punk rock yang tadinya sekadar berhenti sebagai fashion statement di paruh kedua naik derajat menjadi semacam ideologi, sedikit mirip agama, ada rambu-rambu haram dan halalnya.
Young, Drunk and Handsome | Superman Is Dead and I, 2003

Punk rock paruh ketiga dimulai ketika Superman Is Dead bergabung dengan Sony Music Indonesia pada 2003 dan melahirkan Kuta Rock City. Di era ini serta seterusnya punk rock mampu mencakup publik lebih luas pun secara natural bertransformasi menjadi corong perubahan, digunakan sebagai salah satu media kampanye—yang terbukti cukup efektif. Malah, kini secara nasional band punk rock terbesar justru berasal dari Bali. Benar sekali, sejarah sedang dirajut dari pulau paling eksotik di Nusantara ini!

___________________

*Tulisan ini pertama kali tayang di majalah Mave pada pertengahan Juli 2012
*Artikel ini melulu berdasarkan sudut pandang serta pengamatan saya pribadi. Seharusnya informasi ini memang bisa lebih komperehensif dan mencatat semuanya, namun tentu memerlukan riset yang lebih mendalam. Sementara artikel ini dikerjakan hanya kurang dari 3 jam dan mengandalkan ingatan semata. Hehe. Bersulang!

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top