search

Propaganda, Musik, Dan Aktivisme

Rudolf Dethu adalah sosok di balik panggung dalam kesuksesan band-band asal Bali. Mulai dari Superman Is Dead sampai The Hydrant merasakan tangan dinginnya.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Rudolf Dethu adalah sosok di balik panggung dalam kesuksesan band-band asal Bali. Mulai dari Superman Is Dead sampai The Hydrant merasakan tangan dinginnya.

Ia tak genah memainkan instrumen musik, betapapun semesta irama adalah cinta sekaligus jalan hidup yang membesarkan namanya. Selera dan pengetahuan jadi senjatanya mengarungi blantika musik.

“Sejak akhir 1980-an, aku bergaul dengan anak-anak musik di Denpasar. Aku orang yang enggak bisa main musik, tapi sering diminta berpendapat tentang musik,” kata Rudolf Dethu, yang namanya dikenal sebagai eks manajer Superman Is Dead (SID)–trio punk rock asal Bali.

Pria ini kerap disebut sebagai propagandis musik. Propaganda Dethu–terutama lewat tulisan–adalah pintu gerbang yang mempertemukan skena (scene) musik Bali dengan pendengarnya.

Hal itulah yang membuat namanya berada satu level bersama para pesohor skena musik Bali, macam SID, Navicula, dan The Hydrant. Tiada berlebihan, sebab Dethu adalah figur di balik panggung dalam kisah sukses band-band di muka.

Belakangan, Dethu terlibat pula dalam dunia aktivisme. Ia berdiri di baris depan dalam puputan melawan reklamasi Teluk Benoa di Bali. Ia juga aktif mengampanyekan semangat kebinekaan dan antikorupsi.

“Aku lebih suka disebut storyteller (pencerita). Wendi Putranto (eks Rolling Stone Indonesia) orang pertama yang menyebutku propagandis,” ujar pemilik nama resmi Putu Wirata Wismaya itu.

Perbincangan kami berlangsung saat matahari Bali sedang panas-panasnya. Angin laut membawa aroma asin dari Pantai Sanur, yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat kami mengobrol: Rumah Sanur Creative Hub.

Tempat itu merupakan satu titik pertemuan para seniman, pelaku industri kreatif, dan aktivis di Bali. Di sana ada kedai kopi, restoran, panggung musik, toko konsep, dan ruang kerja bersama.

Siang itu (8/12/2017), Rumah Sanur sedang sibuk. Beberapa anak muda tengah menata panggung, mengatur instrumen musik, dan mengecek sistem pengeras suara.

“Kami dipercaya jadi tuan rumah Festival Anti Korupsi oleh KPK. Ini sedang persiapan buat acaranya, sore nanti,” kata Dethu, yang bertanggung jawab mengurusi perihal musik dan konten di Rumah Sanur.

Sebelum memulai percakapan, pria yang lahir 47 tahun silam itu memesan Gurita Bumbu Bali dan Jus Melon.

Hari itu, ia mengenakan setelan sepatu bot, celana jin, kemeja berwarna merah, plus suspender yang melingkar dari pinggang ke bahu. Sesekali, ia membenarkan letak topi fedora di kepalanya, seolah memastikan penampilannya senantiasa klimis.

Berewok dan kumis membuatnya terlihat sangar. Kesan itu hilang bila melihat senyum atau gelak yang kerap menutup perkataannya. Agaknya, gaya serta gestur Dethu adalah cerminan karakter skena musik Bali: sangar tanpa kehilangan keramahan dan kegembiraan.

“Street punk susah berkembang di Bali yang punya beach culture–dengan suasana kegembiraan dan santai. Musik yang pas rockabilly, californian punk, atau surf punk,” katanya.

Rudolf Dethu saat ditemui Beritagar.id di Rumah Sanur – Creative Hub, Sanur, Bali; Senin (8/12/2017) | Syafiudin Vifick / Beritagar.id

Menanam pengaruh dari kapal pesiar

Ketertarikan Dethu pada musik dimulai sejak dini. Kebetulan, orang tuanya bekerja di industri pariwisata dan kerap melawat. Billboard, majalah hiburan kenamaan asal Amerika Serikat, jadi buah tangan saban orang tuanya pulang lawatan.

Bacaan itulah yang memperkaya referensi musiknya. “Sejak SD, aku jadi semacam ensiklopedia di antara teman-temanku, terutama soal musik,” ujar Dethu.

Hal itu berlaku hingga dirinya berkuliah di Politeknik Pariwisata Udayana. Semasa kuliah, ia sempat pula membentuk band sebelum sadar kemampuannya dalam bermusik terbatas adanya.

Dethu menambal kelemahan itu dengan pengetahuan, yang memberinya tempat khusus dalam skena musik Bali. Ia juga mulai mengasah kemampuan menulis lewat catatan musik di koran lokal.

Lembar baru petualangan Dethu terbuka saat dirinya menjadi pramusaji di kapal pesiar milik perusahaan pelayaran asal AS.

“Saat itu, aku punya duit lebih dan bisa mengoleksi apa-apa yang kusuka. Rilisan musik jadi item koleksiku,” katanya. “Aku jadi sering membuat album kompilasi–semacam mixtape–dari lagu atau album yang kudengarkan. Kompilasi itu kukirim ke teman-teman di Bali.”

Kumpulan lagu itu menjadi kanal propaganda Dethu. Ia memuat tembang pilihannya dalam cakram padat (CD). Tiap lagu pilihan juga diberi catatan yang memuat sejarah atau sekadar alasan personalnya memilih tembang termaksud. Bila punya waktu luang, Dethu akan membuat sampul kompilasi yang digambarnya sendiri.

Ia mengenang masa-masa itu sambil tersenyum, “Tiap kompilasi kubikin dua hingga tiga kopi. Teman-teman di Bali menggandakannya. Akhirnya, di Bali–terutama Denpasar–orang-orang mendengarkan lagu yang sama.”

Pada 1998, Dethu turun kapal pesiar. Hanya sebulan dirinya menganggur, tawaran pekerjaan datang.

“Ada teman yang kerja di Radio Cassanova, Bali. Ia minta aku jadi penyiar dan bikin program sendiri. Padahal, aku enggak punya pengalaman broadcasting,” kata Dethu.

Dengan naluri seorang propagandis, Dethu tak menyiakan-nyiakan tawaran itu. Ia membuat program mingguan bertajuk “Alternative Airplay” di Radio Cassanova.

“Program itu membahas musik alternatif secara mendalam. Misalnya, pekan ini bikin edisi khusus punk rock, aku akan membahas sejarahnya, pengaruhnya di Indonesia, hingga mewawancarai band lokal,” ujar Dethu

Kelak, karena kepopuleran program itu, Radio Cassanova jadi titik kumpul bagi band-band di Bali.

Pekerjaan cuap-cuap lewat frekuensi dilakoninya selama 14 tahun (1998-2012), dengan tiga kali ganti pemancar: Radio Cassanova, The Beat Radio Plus, dan OZ Radio.

Salah satu program radio Dethu nan legendaris adalah “The Block Rockin’ Beats” (The Beat Radio Plus), yang menyajikan daftar putar–berikut catatan singkat–dari orang-orang pilihannya.

Nama-nama kesohor pernah memutar lagu dalam program itu, macam Andre Opa (eks Pemimpin Redaksi Trax), Adib Hidayat (eks Pemimpin Redaksi Rolling Stone Indonesia), Philip Vermonte (peneliti), Jimi Multhazam (The Upstairs), dan Kill The DJ (Jogja Hip Hop Foundation).

“Publik ingin tahu, musik macam apa yang membentuk orang-orang keren itu,” kata Dethu perihal program termaksud.

“Hal-hal yang kulakukan selalu personal. Musik membuat kita mengenal seseorang lebih intim.”

Rudolf Dethu saat memperkenalkan salah satu band binaannya, Leonardo & His Impeccable Six, dalam sebuah pentas di Rumah Sanur – Creative Hub, Bali; pada medio 2015 | Syafudin Vifick / Beritagar.id

Propagandis musik

Radio membuka jalan bagi Dethu untuk menekuni bisnis musik. Tawaran menjadi manajer band pertama kali datang dari SID, yang memang sering menyambangi tempat Dethu bekerja.

“JRX (penabuh drum SID) yang menawarkan pertama kali. Aku belum mengiyakan, tapi merasa terhormat karena suka dengan mereka,” kenang Dethu. “Waktu itu, aku sedang merintis clothing, Suicide Glam. JRX juga bantu kasih tempat untuk toko.”

Petualangannya bersama SID dimulai pada 2001. Itu adalah era awal penetrasi internet di Indonesia, yang ditandai demam milis–grup diskusi berbasis surel.

Lewat milis–terutama Yahoo Groups, Suicide Glam–Dethu melancarkan propaganda guna memperkenalkan band binaannya. Pun, ketika blog mengetren, Dethu menyalakan laman pribadinya sebagai kanal propaganda: RudolfDethu.com.

Gaya promosi Dethu tak lazim, misal menyematkan kalimat frasa “beer drinker” pada tiap personel SID atau menyebut mereka tak pandai bermain musik.

“Secara administrasi, aku enggak cukup baik. Aku bahkan enggak pernah bikin proposal untuk menawarkan band. Hal yang paling aku tahu adalah mempropagandakan sesuatu dengan sudut pandang berbeda,” katanya.

Puncak sukses SID terjadi saat merilis album mayor label pertama, Kuta Rock City (2003) lewat Sony Music Entertainment Indonesia.

Semula, kata Dethu, tawaran merilis album mayor label jadi kontroversi di internal SID dan skena punk rock. “Waktu itu ada semacam anggapan band punk rock enggak boleh rekaman dengan mayor label. Di sisi lain, SID merasa mentok di jalur indie, sejak 1995.”

Menurut Dethu, SID tak pernah meminta belas kasih mayor label. “Kami ‘ditawarkan’ bukan ‘menawarkan’, jadi lebih setara, penuh kebebasan.”

Perihal kesetaraan dan kebebasan itu, Dethu mengenang momen ketika SID berkukuh memasukkan 70 persen lagu berlirik Bahasa Inggris dalam album pertama mereka.

“Waktu itu, Pak Jan Djuhana (Artist and Repertoire Sony Music Entertainment Indonesia) telepon aku dan memastikan permintaan kami diterima. Itu jadi titik balik, kami menerima tawaran Sony.”

Sebagai manajer, Dethu pula yang mengawal eksponen grunge Bali, Navicula saat merilis album dengan Sony-BMG (Alkemis, 2004). Ia juga ikut menginisiasi kelahiran Suicidal Sinatra, band psychobilly pertama di Indonesia.

Pengujung 2007, ketika SID berstatus band punk rock nomor wahid Indonesia, Dethu malah mengambil rehat dari aktivitas manajemen band. Konon, ia mundur karena ingin fokus pada bisnis clothing, Suicide Glam.

“Ada juga rasa jenuh. Awalnya, aku nonton band dengan fun, tapi ada satu titik lihat konser malah stres,” katanya.

Ia baru kembali ke dunia manajemen artis pada 2015, dengan mengusung bendera Rudolf Dethu Showbiz. Saat ini, bendera bisnis termaksud membawahi tujuh artis–termasuk gerombolan rockabilly andalan Bali, The Hydrant.

“Sekarang, kalau bandku main, aku bisa minum dan ngobrol sama orang-orang. Aku bilang sama road manager, ‘Kalau Megawati wafat, atau Gus Dur hidup lagi, baru panggil aku. Kalau enggak gawat, jangan panggil.’ Aku merasa fun lagi.”

Rudolf Dethu dalam acara peluncuran buku biografi Superman Is Dead, Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral! di Rumah Sanur – Creative Hub, Sanur, Bali; Agustus 2015 | Syafudin Vifick / Beritagar.id

Kelindan budaya pop dalam aktivisme

Nyaris satu dekade terakhir, Dethu menaruh minat dan tenaga ke dunia aktivisme.

Saat gelombang reformasi 1998 menerpa Indonesia, Dethu sebenarnya sudah tertarik pada isu-isu sosial politik dan sesekali terlibat dalam demonstrasi menuntut pergantian rezim.

Namun, ia baru aktif benar dalam dunia aktivisme antara 2007-2008, ketika terlibat gerakan menentang Undang-Undang Pornografi. “Aku merasa UU Pornografi mengancam budaya Nusantara. Aku mulai mengajak musisi terlibat memberi solidaritas,” katanya.

Perlawanan itu kandas. UU Pornografi disahkan. Namun, Dethu belajar banyak dari kegagalan.

Tatkala isu reklamasi Teluk Benoa berdengung, Dethu terlibat dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI).

Gerakan sipil itu adalah garda depan aksi-aksi anti-reklamasi Teluk Benoa. Mereka menganggap reklamasi Teluk Benoa mengancam lingkungan dan kebudayaan di Pulau Dewata.

“Saat melawan UU Pornografi, musisi hanya bersolidaritas di atas panggung. Sekarang, di ForBALI, musisi ikut demonstrasi, diskusi, dan mengorganisir,” kata pria yang kebagian tugas mengurusi Divisi Media sosial di ForBALI itu.

Dethu memberi kredit khusus kepada I Wayan Suardana alias Gendo, Koordinator ForBALI. Ia menyebut Gendo sebagai tokoh yang bisa memimpin dan menyuntikkan kesadaran anak-anak muda Bali perihal isu-isu sosial, politik, dan lingkungan.

“Sekarang, kalau demo ForBALI, ada SID, Navicula, The Hydrant, Nosstress, dan seterusnya. Anak-anak muda ramai ikut demo. Mereka sering selfie, enggak masalah, yang penting melawan dan fun,” ujar Dethu beriring gelak.

Sejak medio 2016, Dethu menjadi Koordinator Aliansi Kebinekaan. Aliansi itu dibentuk 23 organisasi non-pemerintah. Mereka kerap membuat forum-forum berbasis kampus guna menangkal radikalisme dan mengampanyekan kebinekaan.

Dalam dunia aktivisme, Dethu senantiasa membawa unsur-unsur budaya populer. Baginya, budaya populer merupakan pintu masuk untuk mendekati anak-anak muda.

“Kita sering berprasangka bahwa anak muda tak tertarik dengan isu berat, seperti social justice. Padahal, kalau ambil contoh ForBALI, yang banyak terlibat justru anak muda. Itu karena kampanye kami menjangkau mereka,” katanya.

Pendidikan:

  • Fakultas Ilmu Komunikasi Politik – Universitas Terbuka (semester akhir)
  • Community Development Komisi Pemberantasan Korupsi – The Hague Academy, Den Haag, Belanda (2017)
  • Diploma Perpustakaan – Sydney Institute, Sydney, Australia (2012-2013)
  • Front Office Departement – BPLP Bali (1990-1992)
  • Departemen Pariwisata – Politeknik Udayana (1988-1990)

Karier:

  • Koordinator Forum MBB (Muda Berbuat Bertanggung Jawab) & Aliansi Kebinekaan (2015-sekarang)
  • Rudolf Dethu Showbiz, memanajeri The Hydrant, Leanna Rachel, Athron, Rebecca Reijman, Leonardo & His Impeccable Six, dan Negative Lovers (2015-sekarang)
  • Penulis biografi Superman Is Dead, Rasis! Pengkhianat! Miskin Moral! (2015)
  • Communication Specialist – IMACS/USAID, Jakarta (2014-2015)
  • Publisis – film dokumenter JALANAN, Jakarta (2014)
  • Kolumnis, The Beat (2007-2014)
  • Night fill – Woolworths Ltd, Sydney, Australia
  • Penyiar dan produser program musik alternatif – Radio Cassanova, The Beat Radio Plus, OZ Radio (1998-2012)
  • Marketing Director & Co-founder – Suicide Glam clothing (1999-2010)
  • Glampunkabilly Inferno Band Management, memanajeri SID, Navicula, Postmen; menginisiasi Suicidal Sinatra (2001-2008)
  • Personal Assistant to Head Designers – CV Kecak, Denpasar, Bali (2000-2002)
  • Dining Room Steward – Holland America Line (kapal pesiar), Seattle, Amerika Serikat (1993-1997)

________

Artikel di atas dipinjampakai dari Beritagar.id bertajuk Rudolf Dethu: Propaganda, Musik, dan Aktivisme.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top