search

Placebo: Kenyataan Dalam Dunia Fantasi

Paranoia itu sirna akhirnya. Brian Molko, Stefan Olsdal, Steve Forrest, memang nyata---dan penuh gaya---berada di depan mata. Obsesi sejak masa baheula tercapai jua. Dengan dibalut kecanggungan antara fakta dan fantasi, saya berdiri di tengah-tengah di antara empat ribuan penonton yang memadati konser Placebo di Tennis Indoor Senayan, 19 Februari malam silam. Memang, sebelumnya saya sempat ketar-ketir jangan-jangan, seperti beberapa grup manca negara lainnya, bak yang sudah-sudah, band asal London ini tiba-tiba di detik-detik terakhir membatalkan kedatangannya. Untungnya tidak. Kelompok yang baru saja tahun lalu menerbitkan album ke enamnya, Battle for the Sun, rupanya minus rasa takut berlebihan terhadap faktor keamanan di negara ini. Brian Molko beserta rombongan tetap datang dan menghibur publik Nusantara.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Paranoia itu sirna akhirnya. Brian Molko, Stefan Olsdal, Steve Forrest, memang nyata—dan penuh gaya—berada di depan mata. Obsesi sejak masa baheula tercapai jua.

Dengan dibalut kecanggungan antara fakta dan fantasi, saya berdiri di tengah-tengah di antara empat ribuan penonton yang memadati konser Placebo di Tennis Indoor Senayan, 19 Februari malam silam. Memang, sebelumnya saya sempat ketar-ketir jangan-jangan, seperti beberapa grup manca negara lainnya, bak yang sudah-sudah, band asal London ini tiba-tiba di detik-detik terakhir membatalkan kedatangannya. Untungnya tidak. Kelompok yang baru saja tahun lalu menerbitkan album ke enamnya, Battle for the Sun, rupanya minus rasa takut berlebihan terhadap faktor keamanan di negara ini. Brian Molko beserta rombongan tetap datang dan menghibur publik Nusantara.

Dengan mengenakan kaos leher V, beberapa belas menit sebelum jam 9, Molko dan rekan menggebrak dengan tembang pertama, For What It’s Worth. Edan. Suara yang dihasilkan oleh sound system di depan panggung luar biasa menggetarkan: jernih, bersih, menghentak keras lagi terjaga, tidak memekakkan telinga. Dari pengalaman saya menonton pertunjukan musik hidup di Tennis Indoor, baru pas Placebo ini kualitas tata suaranya hampir tanpa cacat. Bak mendengarkan cakram digital saja.

Dengan basa-basi super minim, band yang telah menjual lebih dari satu juta album di Inggris serta melampaui sepuluh juta di seluruh dunia, menggeber lagu-lagunya nyaris tanpa jeda: Ashtray Heart, Battle for the Sun, Soul Mates, Speak in Tongues, Cops, Every You Every Me, Special Needs, Breathe Underwater, dsb. Terhitung lebih dari 20 lagu yang dibawakan malam itu. Molko baru menyapa audiens Jakarta di sekitar lagu ke sepuluh. Itu pun tanpa berdialog panjang-panjang. Sekadar bilang apa kabar plus berterima kasih. Selebihnya trio tersebut—didukung oleh beberapa personel tambahan sekitar 4 orang—memilih berbicara lewat musik berisik namun menyenangkan, kelap-kelip lampu nan indah, serta rentetan gambar dari video duhai dramatis. Pun para penonton tampaknya asyik-asyik saja berjingkrak-jingkrak kegirangan: let the music do the talking!

Sungguh tak percuma kontingen Placebo bersikukuh membawa peralatan sampai 10 ton beratnya. Dan saya berani bilang, ini adalah satu dari super sedikit konser terbaik oleh musisi luar negeri yang pernah saya saksikan di Jakarta.

*Artikel ini pertama kali tayang di majalah The Beat Jakarta—dengan tajuk For What It’s Worth—edisi Februari 2010
*Foto adalah milik Peter Ian Staker

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top