search

Nymphea ~ Malaikatmu

Berita pers tentang album (penuh) perdana dari Nymphea Malaikatmu ini saya telah buat lalu publikasikan pertama kali pada Juni 2008. Barangkali tulisan ini sudah terbilang agak usang di masa sekarang. Namun tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Berita pers tentang album (penuh) perdana dari Nymphea Malaikatmu ini saya telah buat lalu publikasikan pertama kali pada Juni 2008. Barangkali tulisan ini sudah terbilang agak usang di masa sekarang. Namun tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

Dalam skala Pulau Dewata reputasi Nymphea lumayan perkasa. Dalam skala tanah Jawa—utamanya Malang, Surabaya serta Jakarta—kuartet Alternative Rock ini bisa dibilang cukup ternama. Good enough.

Well, is it good enough good enough? Sari (vokal), Sogol (gitar), Sodick (bas), dan Aguzt (drum), sepakat menyahut: “Tidak!”.

Sepucuk mini album, sekumpulan kompilasi, sederet pertunjukan intens lintas pulau, segepok jejeritan meriah dari penonton, sesuap popularitas porsi menengah, masih dirasa belum cukup. Ada dua destinasi penting yang harus dicapai demi meraih Nymphea nan tata tentram kerta raharja: sebuah album (perdana) penuh sekaligus respek skala nasional.

Secara kebetulan manajemen Nymphea bertemu dengan Tony Trax. Pemilik Proton Records ini mulanya hanya diminta membantu di departemen promosi. Skema relasi beringsut berubah arah saat Tony mulai lancang merecoki wilayah berkesenian Nymphea. Dengan jumawa Tony merombak ulang Bukan Malaikat yang tadinya keras lagi cepat, disulap menjadi tembang sejuk semilir, totally stripped down alias akustik. Bukan itu saja, titelnya dipreteli hingga tinggal Malaikatmu. Band bentukan 4 Januari 2005 ini tentu terjengkang kaget. Terbelalak penuh heran sebab justru jurus transformasi macam begitu mampu menyeruakkan nuansa manis campur magis, aspek yang sebelumnya sama sekali tak terungkap, digjaya dimunculkan ke permukaan. Edan.

Nymphea punya karya cemerlang.
Tony merecoki lancang.
Resultan berkesenian, eh, justru berujung benderang.
Sungguh sebentuk padu padan bengal, janggal, jalang, sumbang, namun gemilang.
Ha.

Segera saja band yang namanya berasal dari istilah Bahasa Inggris “Nymph” (bidadari) ini meminta Tony menjadi produser album debut mereka.

Tony lalu bermigrasi sementara ke Bali. Langsung masuk studio. Langsung merevisi—tepatnya merevolusi—kumpulan lagu yang oleh kontingen Nymphea tadinya dianggap sudah matang dan hendak dirilis. Sudah begitu, gita bertajuk Aku, Bulan, dan Bintang yang awalnya tak disertakan, bukan cuma optimistik diikutkan, pula oleh Tony aransemennya di-abrakadbra dari minor menjadi mayor. Hasilnya? Sinting tujuh keliling. Sebab, berkaca dari fakta polling, single pertama (sekaligus judul album) Malaikatmu, wih, nyaris saja kebanting…

Asli, kongsi potensi mumpuni Nymphea vs aksi slonong-boy Tony berimplikasi ajaib: sengkarut tapi serasi. Kalut tapi sakti. Dan 12 dendang dengan apik tereksekusi. Suara dan raga Sari yang, ahem, setengah bidadari pun lebar-optimal tereksplorasi. Belum lagi peran serta Dankie (Navicula) + Dizta (Discotion Pill) duhai jitu melengkapi.

Sekarang tinggal publik muda Nusantara saja, apa bersedia pasang telinga, membuka hati dan memberi permisi.

Permisi.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

RUDOLF DETHU

Scroll to Top