search

NAVICULA – SALTO: PASSION IS THE RELIGION

Rilis pers dari album ke-6 Navicula, Salto, Juni 2009.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rilis pers mengenai album ke-6 kontingen green grunge gentlemen, Navicula, bertajuk Salto ini sejatinya adalah materi agak lawas (tanggal rilis: Juni 2009), walau pamali untuk dibilang usang. Sengaja tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

“…Pesan utama dalam album ini adalah: ‘Selamatkan diri kita dari diri kita sendiri’. Mungkin terdengar agak pesimis, tapi sudah saatnya kita membayar apa yang kita perkosa dari alam. Masalah yang timbul adalah masalah kita semuadan penyelesaiannya hanya bisa dengan kepedulian bersama…”

Introduksi Robi, sang biduan, mengenai rilisan terbaru Navicula.

Salto, tajuk yang dipilih oleh kongegrasi Grunge asal Bali ini, merupakan album ke-6 mereka semenjak berdiri pada tahun 1996. Manuver jungkir balik, gerakan berputar 360 derajat yang dipakai sebagai titel tersebut, merujuk pada sebuah siklus penuh Navicula yang telah koprol-kayang-centang perenang lebih dari 1 dasa warsa. Serta sejak awal hingga kini serius lagi religius menegakkan kebenaran yang teguh diyakini, bahwa—wahai hulubalang Seattle Sound camkan sabda berikut—aktivitas membikin musik dan berkesenian adalah ultra signifikan, nomor wahid, segalanya. Plus passion dalam menggarap album paling mutakhir ini sama saja seperti ketika menggarap album paling mula. Nyala semangat setara gigantiknya. Lalu subjek lain—semisal mengikuti trend dan/atau menjadi mesin industri musik komersial—adalah sekunder, inferior, subordinat, nomor ke sekian. Peduli setan.

Pada karyatama bermuatan 13 lagu + 1 bonus track yang direkam di studio Antida, Bali; dan di-mixing/mastering di studio Palu, Jakarta; ini Robi (vokal), Dankie (gitar), Made (bas), serta Gembull (drum), bereksperimen dengan tembang-tembang keras yang lebih “bernyanyi”, cenderung bersenandung. Namun benang merah emosi, aransemen, pula tekstur suara tetaplah khas Navicula: gusar, gerah, mentah, kasar, indah.

Pun di perkara lirik, tema yang dikibarkan masih setia pada khitah yaitu topik “hijau” alias lingkungan hidup + budaya, senantiasa kritis pada isu sosial, pantang menyerah mengkampanyekan semangat cinta, kebebasan, dan gigih mendukung perdamaian global.

Simak “Pantai Mimpi”, contohnya. Sebuah komposisi yang menangisi degradasi pantai di Bali Selatan, Dream Land, yang dulunya amat kondang saking rupawannya:

“…Mentari kan berlalu
Langit kelam seperti hatiku
Yang tersisa cakrawala
Jadi saksi serakahnya kita
Wariskan berjuta tanya

Pantai mimpi
Tinggal sejarah
…”

Atau simak gita andalan, “Menghitung Mundur”, yang bicara tentang bumi menuju akhir jaman, rumor dunia bakal kiamat pada 2012, dimana sebaiknya dihadapi dengan membuka mata hati, selain juga mengendalikan keserakahan indria. Sementara “Kau Datang” mengapresiasi tulusnya cinta nan penuh maaf. Yang pasti, bineka pokok pikiran dari “agama” Navicula tertuang gamblang di sekujur album.

Green Grunge Gentlemen datang, salto, dan menang!

“…Banyak yang bilang musik kita melawan trend yang ada sekarang.
Kita pikir, bukankah musik Rock itu memiliki jiwa perlawanan?
Dengan sadar kita mengambil keputusan untuk tetap berkarya sesuai dengan hati aja.
Kita nge-band karena kita memang suka musik.
Kita kaum oposisi yang ingin memberi warna alternatif pada industri musik mainstream lokal!”

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top