search

NASAKOM: Nasionalisme Aku Ompong. Hiya!

Tampaknya belakangan ini makin banyak telunjuk dari Nusantara deras mengarah menuju kerajaan jiran, Malaysia. Jari itu berbalutkan amarah membuncah. Lontaran kalimat beringas "tidak makan bangku sekolahan" pun melengkapinya. Plus bonus barbekyu bendera Jalur Gemilang... Segala kegerahan tingkat nasional itu diawali oleh manuver Malaysia yang dianggap telah melangkahi kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindak tanduk tetangga---nasionalisasi batik, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet, pulau Jemur---memunculkan ketersinggungan gigantik. Mendadak saja pemuda pemudi mulai Aceh hingga Papua lebur jadi satu bersepakat bersikap anti pada si tetangga yang sama-sama Melayu, lalu menyebutnya dengan nama baru: Malingsia. Bukan cuma itu, ada yang lebih spektakuler, sesosok sesepuh partai besar terang-terangan menyerukan komando, "Ganyang Malaysia!" Benar, gairah kebangsaan, jumawa pada negeri sendiri, semangat mengabdi, bela negara & tindak chauvinistik, serbaneka bau nasionalisme mendadak merebak menyengat ke seluruh penjuru. Ranah virtual---utamanya Facebook dan Twitter---didominasi oleh gemuruh gerutu masygul. Para tua-muda tiba-tiba menunjukkan simpati besar pada Merah Putih, Garuda Pancasila, Indonesia Raya, ultra bangga memproklamirkan dirinya sebagai orang Indonesia.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Tampaknya belakangan ini makin banyak telunjuk dari Nusantara deras mengarah menuju kerajaan jiran, Malaysia. Jari itu berbalutkan amarah membuncah. Lontaran kalimat beringas “tidak makan bangku sekolahan” pun melengkapinya. Plus bonus barbekyu bendera Jalur Gemilang…

Segala kegerahan tingkat nasional itu diawali oleh manuver Malaysia yang dianggap telah melangkahi kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tindak tanduk tetangga—nasionalisasi batik, Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange, tari Pendet, pulau Jemur—memunculkan ketersinggungan gigantik. Mendadak saja pemuda pemudi mulai Aceh hingga Papua lebur jadi satu bersepakat bersikap anti pada si tetangga yang sama-sama Melayu, lalu menyebutnya dengan nama baru: Malingsia. Bukan cuma itu, ada yang lebih spektakuler, sesosok sesepuh partai besar terang-terangan menyerukan komando, “Ganyang Malaysia!” Benar, gairah kebangsaan, jumawa pada negeri sendiri, semangat mengabdi, bela negara & tindak chauvinistik, serbaneka bau nasionalisme mendadak merebak menyengat ke seluruh penjuru. Ranah virtual—utamanya Facebook dan Twitter—didominasi oleh gemuruh gerutu masygul. Para tua-muda tiba-tiba menunjukkan simpati besar pada Merah Putih, Garuda Pancasila, Indonesia Raya, ultra bangga memproklamirkan dirinya sebagai orang Indonesia.

TKganyangmalaysia

Sementara itu, masih sehubungan dengan ke-Indonesia-an, jauh sebelum isu anti Malaysia ini mengguncang, pernah ada kejadian dimana kedigjayaan Nadine Chandrawinata dalam kontes Putri Indonesia diprotes keras. Wajahnya yang kebule-bulean dianggap nihil merepresentasikan Indonesia—apalagi bahasa Indonesianya saat itu agak kurang lancar. Langsung Nadine dicap bukan penduduk lokal. Spontan segala macam klasifikasi siapa murni siapa oplosan, apa itu pribumi apa itu non-pri, riuh beredar di jagat maya. Yang pasti, Nadine, beserta spesies kulit putih berpaspor Indonesia lainnya, tersudut termarjinalkan. Eksistensi mereka, pendeknya, diistilahkan sebagai “belum cocok disebut Indonesia sejati.” Malah salah satu mantan Putri Indonesia yang kini menjadi anggota DPR berperanserta mengompori. Selain memberondongkan negasi terhadap eksistensi para bidadari non-sawo matang, dia bilang pula di blog-nya, “…Sehingga standar yang harus diterapkan adalah yang mempunyai muatan ‘membumi’ dengan mempertimbangkan suasana dan kondisi physicologis dari sebagian besar perempuan Indonesia. Pemilihan Puteri Indonesia harus mampu untuk menghargai dan mengembangkan ‘kecantikan Indonesia’ yang sangat beragam…”
Di paragraf lainnya dia tegaskan lagi, “…Sebenarnya point yang ingin saya stressed out pada saat itu adalah bagaimana kita mempertahankan nasionalisme dan kebanggaan atas bangsa kita sendiri. Saya beri contoh: kita mulai dengan menciptakan ikon-ikon yang betul-betul dapat memberikan semangat bagi generasi muda Indonesia untuk cinta dengan ke-Indonesia-annya sendiri. Saya menganggap Pemilihan Puteri Indonesia sebagai satu ajang yang dapat membentuk jalan atau lebih daripada itu menciptakan kriteria atau bahkan definisi dari kecantikan ala Indonesia yang sangat beragam (ada cantik Aceh, cantik Batak, cantik Bali, cantik Jawa, cantik Manado, cantik Maluku, dan masih banyak lagi)…”

AngelinaSondakh-resized

Nah, pertanyaannya sekarang, apakah gerakan gotong royong satu nusa satu bangsa menyumpahi Malaysia pararel dengan nasionalisme? Cantik Aceh/Batak/Bali/Jawa/Manado/Maluku mendefinisikan ke-Indonesia-an yang kuat?

Walau saya sendiri masih sedikit bingung dengan makna nasionalisme bagi konteks masa kini, tapi untuk dua pertanyaan di atas saya berani berkata,” Tidak!” Sebab melontarkan makian ofensif terhadap Malaysia, seruan mengajak bertempur lintas teritorial—dengan profil foto berlatarkan Burung Garuda sekali pun—tak segendang sepenarian dengan nasionalisme. Sekarang tahun 2009, bukan era perang. Urusan memanggul bedil, menyulut meriam, membacok musuh, rela mati demi membela tanah air, itu dulu, itu masa lalu. Sudah melenceng lagi ingkar dengan norma mutakhir. Jaman sudah masif berubah.

Sementara kriteria cantik Lombok, kemayu Papua, juwita Batam, adalah bias serta diskriminatif, tak identik dengan ke-Indonesia-an. Perbedaan warna kulit, kekuranglancaran berbahasa nasional, bukan alasan kuat menolak Nadine untuk memperoleh gelar Putri Indonesia. Siapa pun (eja lalu camkan dengan baik: Sia-Pa-Pun) kaum hawa yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Indonesia—berwajah bule, bercakap dengan dialek Hokkian nan kental, berambut pirang, apa pun itu—memiliki hak setara dengan yang lainnya. Tiada seorang juga—mantan Putri Indonesia cum anggota DPR Yang Terhormat sekali pun—boleh mengklaim dirinya paling berhak menyandang atau menentukan titel “pribumi.” Yang penting ketika registrasi lomba Putri Indonesia si perempuan nihil diminta bibit-bobot-bebet silsilah keluarga, absen dipertanyakan garis keturunan, minus diharuskan mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar; artinya si pendaftar—sejauh sah sebagai WNI—sungguh boleh, dilindungi hukum, dan dijamin oleh undang-undang, untuk turut berpartisipasi di kejuaraan itu. Simple as that.

Musti jujur diakui, di negara ini kerap berlaku parameter ganda. Saat Liem Swie King, Tan Yoe Hok, Ivanna Lie, jayawijaya di berbagai turnamen bulutangkis dunia dan mengharumkan nama Indonesia, dengan riang ria para “pribumi” menyatakan bahwa keberhasilan tersebut milik rakyat Nusantara juga. Padahal jelas-jelas tampang Liem dan Tan melenceng dari tolok ukur ke-pribumi-an. Matanya sipit, kulitnya putih pucat, kontra sawo matang—dan bukan mustahil kemampuan berkomunikasinya memakai Bahasa Indonesia agak diragukan. Lalu Ivanna, terang meleset dari klasifikasi “cantik Sunda/juwita Kupang/jelita Bugis.” Namun apa yang terjadi? Trio “Cina totok” itu disambut bak pahlawan pembela tanah air, penegak wibawa negara nomor wahid. Faktor “bukan asli” tak lagi jadi isu krusial. Kualitas “oplosan” dianggap sah-sah saja (yang menggelikan, saat Ivanna mewakili negeri ini, di tahun 80-an itu, ternyata status perempuan bernama lengkap Ivanna Lie Ing Hoa tersebut bahkan belum tercatat resmi sebagai WNI). Lah, kok iso?

Bagi saya, hakikat nasionalisme, nilai kepribumian, esensi ke-Indonesia-an, deskripsinya telah lebar bergeser. Keseharian menggunakan beragam simbol berbau Indonesia—mengibarkan bendera Merah Putih tiap hari, mendengarkan Dangdut tanpa henti, paling depan meng-Ganyang Malaysia sambil menggengam Blackberry berlapis Batik Tiga Negeri—belum akurat menggambarkan limpah afeksi pada negeri ini. Sudah bagus, memang. Sudah benar jalannya. Tapi masih sekadar superfisial, miskin substansi. Menurut saya, luapan cinta terhadap Indonesia akan lebih tepat dan kaya makna kalau ditunjukkan dengan bersama-sama membangun negeri ini. Dan yang paling mendesak adalah membenahi sektor pendidikan. Lupakan dulu obsesi sontoloyo semisal menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor pesawat terbang. Atau balik ke romantisme picisan dengan mengungkit-ungkit keperkasaan Gajahmada serta komando Dwikora Soekarno pula sinambung-kondusif khas rezim Soeharto: mempersatukan Nusantara dulu, lalu menaklukkan bangsa serumpun di seberang pulau, dilanjutkan dengan penguatan stabilitas (palsu) a la Orde Baru. Itu semua paradigma usang. Totally.

Gajahmada-resized

Kawan Indonesiaku yang terkasih dan menyebut diri peduli pada negeri ini, ayo revisi skala prioritas. Konsolidasi ke dalam saja dulu. Kisruh domestik benahi lebih awal. Rehabilitasi bidang pendidikan tempatkan paling utama. Ekstensif bangun gedung-gedung sekolah. Perbaiki mutu guru. Dorong reformasi Sisdiknas agar berjalan lebih baik, makin cepat, menyasar tepat. Dengan melahirkan anak-anak muda Indonesia yang cerdas maka fenomena mbalela macam menyembah kekuatan Ponari, pengkultusan Syekh Puji, mendesak kembali pemberlakuan hukum rajam, miskonsepsi antara teroris dengan mujahid, tak terjadi lagi. Dan ketika diajak meng-Ganyang Malaysia oleh sang petinggi berbadan tambun pun kita justru menggelengkan kepala, berani mengambil resiko dituduh pengecut, siap diolok-olok paceklik patriotisme, tak takut dicap ompong nasionalisme. Karena kita sadar bahwa ketika akhirnya benar-benar perang dengan Malaysia yang akan tewas duluan adalah kita, yang mati konyol paling pertama itu anda dan saya, bukan dia. Si badan lebar mah duduk santai di singgasananya, memberi perintah anak buahnya ini dan itu (sambil ber-YM ria dengan smart phone, tentunya). Dalam merespons konflik bilateral ini yang anda dan saya lakukan justru mendesak pemerintah agar mengambil langkah serius sejenis diplomasi keras namun terukur agar hasilnya efektif. Ndak usah sok satria, bergandengtangan dengan Benteng Demokrasi Rakyat berangkat ke Malaysia, mengikhlaskan diri jadi martir bergumul di garis depan. Di saat yang sama, sebisanya kita menghindari menyemprotkan komentar-komentar pesing yang justru nantinya akan memperkeruh situasi. Selebihnya, ya itu tadi, meneruskan aktivitas menciptakan Indonesia baru yang cerdas dan bermartabat. Semoga saja dengan terbangunnya Indonesia yang pintar, masalah kemiskinan bisa disiasati dengan apik. Hingga jalan bebas hambatan menuju Nusantara makmur, ijo royo-royo, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrawa, terbebas dari dikotomi pribumi non-pribumi, sanggup tercapai segera.

Ini dadaku.
Mana dadamu?
Ini Nasionalismeku.
Mana Nasionalismemu?

Merdeka Menjadi Bianglala, Jaga Bhinneka Tunggal Ika,
RUDOLF DETHU
Komponen Rakyat Bali
KRB-resized

*Beragam komentar yang menarik—selain di halaman ini—bisa juga dilihat di simak di halaman Facebook ini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top