search

Muara Senja 2

Jumat, 25 April 2014, ini saya diundang berpartisipasi dalam acara musik & diskusi, Muara Senja 2.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
MuaraSenja2-mnpg

Press Release

Kita terbiasa mendengar bahwa musik protes sosial tidak senyaring dahulu lagi. Bahkan ada yang lebih jauh mengatakan bahwa musik protes sosial hanya bisa ber”bunyi” ketika sang artis—sama seperti masyarakatnya—hidup di bawah tekanan, dalam kasus kita di bawah cengkeraman Orde Baru. Contoh paling nyaring adalah Iwan Fals. Jika kini Iwan lebih banyak dikenal karena iklan kopi dan berdendang di acara talk show di hadapan para politisi, di bawah Orde Baru sang maestro kita ini bernyanyi di hadapan aparat dan menulis karya-karya terbaiknya. Namun apakah memang selalu seperti itu kondisinya. Bukankah runtuhnya Orde Baru, bukan merupakan keruntuhan dari sistem yang lebih besar yang mencekik umat manusia. Masih ada kapitalisme, birokrasi, dunia yang tetap tidak aman karena nuklir serta kebodohan manusia secara umum. Dan bukankan dengan begitu musisi seharusnya tetap resah dan tetap menulis lirik protes sosial dan bukan cinta-cintaan atau kekasih yang hilang?

Dengan begitu musik protes sosial akan tetap relevan dan sesuai dengan kondisi zamannya. Lagu Efek Rumah Kaca tentang konsumerisme juga adalah lagu protes sosial yang akan abadi, seabadi keserakahan manusia dalam berbelanja. Lagu protes sosial tentang brutalitas polisi misalnya akan tetap relevan di zaman apapun, selama masyarakat masih berada dibawah cengkeraman negara yang memonopoli kekerasan. Jadi terlalu awal untuk mendedahkan kematian musik protes sosial atau menihilkan hubungan antara musik dan politik. Diskusi tersebut akan dimoderatori oleh Taufiq Rahman dan menampilkan pembicara Herry “Ucok” Sutresna, aktivis pergerakan akar rumput dan produser musik, Rudolf Dethu, mantan manajer Superman Is Dead dan aktivis musik Bali yang baru saja pindah ke Jakarta serta musisi folk Jakarta Harlan Boer. Diskusi akan ditutup dengan penampilan musik dari Senar Budaya, Senar Senja, Harlan Boer, Bin Idris dan Parisude.

Keseluruhan rangkaian kegiatan “Muara Senja 2”: Musik dan Politik akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal: Jumat, 25 April 2014
Waktu: 14.00-18.00 WIB
Tempat: Taman Melingkar Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok

Narahubung
CP: Imagodei +6283890324730
Twitter: @senarbudaya_
Website: senarbudaya.fib.ui.ac.id

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top