search

Menyikapi Tren K-Pop

Saya tidak suka dan bukan penggemar K-pop. Sejak awal kemunculan hingga kini. Menurut saya K-pop itu biasa saja.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
BTS — Sumber Foto: trendingallday

Saya tidak suka dan bukan penggemar K-pop. Sejak awal kemunculan hingga kini. Menurut saya K-pop itu biasa saja.

Sejak dahulu kala, saya memang cenderung males melihat fenomena boyband dan girlband—yang notabene adalah elemen dasar K-pop. Ketika New Kids On The Block menyeruak lalu menjadi populer, saya adalah satu dari super sedikit yang menunjukkan penolakan di kala remaja. Sampai-sampai banyak sahabat, kaum kerabat, yang memusuhi. Utamanya perempuan. Alhasil, dari sikap mengambil jarak, memusuhi boybandgirlband tersebut sulit bagi saya untuk mendapat pacar. *uhuk*

Apa sih yang istimewa dari NKOTB, Backstreet Boys, Westlife, dan kawan-kawannya itu? Musiknya amat sederhana. Liriknya picisan. Dansa-dansinya (zaman itu) juga standar. Pun formatnya klise: ada yang “bad boy”, satunya lagi “shy boy”, lalu “the baby”, dan dua lagi yang di-plot menjadi sosok tertentu. Bukan tak mungkin nanti ada yang diciptakan figur yang rajin beribadah mengingat, terutama di Indonesia, kini sedang ngetren untuk merangkul agama. Ha.

Namun, bagi saya yang paling mengesalkan: semuanya rekayasa, buatan “pabrik”, semacam produk kemasan siap pakai. Sebab yang bersenandung sambil jingkrak-jingkrak di panggung itu tak lebih dari boneka. Atau wayang. Ada yang menggerakkan. Ada dalangnya. Bisa satu, bisa dua, bisa sebuah tim berjumlah beberapa orang. Yang di depan kita itu, para pemuda ganteng dan pemudi cantik yang berdendang seraya salto/koprol/kayang tersebut disetir oleh pawang. Mulai dari lagu, dandanan, gaya menari, peran di grup (kamu jadi cowok bandel, kau si pemalu, ente pasang tampang imut, dsb), band pengiring, jadwal manggung, memilih manajer, segala tetek bengek serinci-rincinya, semua diatur oleh aktor intelektual.

NKOTB — Sumber Foto: Gangster Report

Lalu tugas—sekadar menyebut nama—NKOTB apa dong? Ya modal wajah saja. Soal kemampuan menyanyi belakangan. Jika bisa menyanyi ya bagus, syukur, itu bonus. Kalau tidak juga tak masalah. Kan ada auto-tune. Suara sumbang bisa tersamarkan. Yang penting secara visual nyaman di mata, ganteng. Pula saat bergoyang badan bisa cukup dinamis serta kompak.

Sebut saya kuno, kolot, bangkotan, silakan. Senjindang—seni jingkrak dan dendang—macam NKOTB itu bagi saya khianat pada esensi seni pertunjukan yang adiluhung. Saya lebih melihatnya sekadar seperti orang berjualan pada umumnya: barang dipoles agar terlihat bagus, dipermanis, dieksploitasi agar lekas laku, gincu belaka. Lebih banyak urusan berdagangnya dibanding urusan berkesenian. Musik cuma kosmetik. Intinya perniagaan saja, sedangkal itu.

Super Junior — Sumber Gambar: ABS-CBN

Saya malah lebih doyan dengan, katakanlah, kelompok akil balik memainkan musik bising tiga jurus yang sederhana. Walau membikin kuping mendengung, tapi bagi saya lebih luhur karena membawakan karyanya sendiri, menjadi dirinya sendiri. Karya-karya di awal mungkin masih belum bisa dibilang masuk standar estetika. Maklum masih belajar, proses transisi. Semoga di kemudian hari kian matang lalu mampu menghasilkan karya yang mumpuni. Perjalanan menuju kedewasaan macam demikian yang menurut saya jauh lebih baik dibanding instan seperti NKOTB dan boy/girlband lainnya.

Begitu pula K-pop ini, saya melihatnya tidak ada bedanya. Formulanya yang digunakan relatif masih sama. Walau mutunya telah jauh membaik—biduan/biduanitanya beneran mengerti harmoni, gerak dan tarinya kian eksplosif dan kompleks. Tapi, prinsip dasarnya tak berubah: rekayasa, ada dalangnya, yang senjindang di panggung hanya wayang, kumpulan boneka. Memang, telah mulai satu-dua anggota boy/girlband yang mencipta lagunya sendiri. Namun, belum bisa dibilang jumlahnya signifikan. Plus, aroma berdagangnya masih terlalu kuat, sangat mengecilkan sisi berkeseniannya. Pendeknya, bagi saya fenomena boy/girlband, K-pop ini fenomena garing. Dandanan bling, jejingkrakan, menyanyi sahut-sahutan dengan lirik picisan, serta dikawal oleh cukong kesenian sang malaikat penentu. Saya lebih menyukai bandband indie dengan karya sendiri, yang berdiri di atas kakinya sendiri, menjadi tuan atas dirinya sendiri.

Dari segala ketidaksukaan saya pribadi tersebut, bagaimana pun juga, harus diakui meroketnya pamor K-pop di skena musik dunia, gilang-gemilangnya mereka mensejajarkan diri dengan pelaku musik global lainnya, ini pantas diacungi jempol. Sungguh sebuah usaha yang tak mudah untuk mencapai posisi seberingas itu. J-pop, fenomena budaya pop asal Jepang, saja cuma bisa bertahan sebentar. Belakangan, trennya menurun meredup. K-pop pelan tapi pasti terus merangkak naik. Hingga kini benar-benar mendunia, dengan legiun penggemar nan fanatik.

Apa yang bisa kita petik dari jayawijayanya K-pop ini? Bukan formula penggunaan dalangnya. Bukan pula seketika menjiplak mentah-mentah resep dandan, jejingkrakan serta lirik picisan boy/girlband mereka. Popularitas gila dari K-pop ini tak terjadi tiba-tiba, bukan keajaiban yang jatuh begitu saja ke bumi. Ini adalah hasil kerja keras, spartan dan komprehensif, melibatkan semua aspek mulai dari pegiat sektor kreatif, para pemangku kepentingan, hingga pemerintah, semua kompak bergerak bersama. Cetak birunya ada, gamblang. Pula programnya jelas, sistematik, dibarengi disiplin tinggi dan keras, khas orang Korea Selatan. Seperti kita masuk sekolah dengan kurikulum tepat guna, sebut saja, CBKA—Cara Belajar K-pop Aktif.

Jika kita googling sudah banyak dibahas rinci soal pembekalan sistematis dengan disiplin tinggi di isu K-pop ini. Sekarang kita di Indonesia ini seyogianya mulai menentukan genre musik apa dengan keindonesiaan yang kuat yang hendak didorong go-international. Sepakati itu dulu. Baru kemudian jiplak sekolah kejuruan K-pop tersebut. Dengan serius dan spartan. Ayo kita mulai!

• Artikel yang saya tulis ini pertama kali tayang di DCDC pada 22 Januari 2019
• Foto Girls’ Generation di halaman depan dipinjampakai dari Pinterest/Bing

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

RUDOLF DETHU

Scroll to Top