search

Logo Klasik AC/DC

Sebagian barangkali mahfum bahwa asal muasal nama AC/DC bermula gara-gara Angus dan saudaranya, Malcolm Young, melihat inisial "ac/dc" di mesin jahit saudara perempuannya, Margaret Young. TAPI saya yakin hampir nihil yang tahu sejarah bagaimana logo klasik AC/DC bermula. Saya jamin cuma sedikit bisa bercerita tentang awal mula simbol "samber geledek" itu. Saya juga baru ngeh kok. Begini kisahnya...
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Kalian yang bukan penggemar band Melayu full selingkuh, anda yang muak dengan maraknya jiplak-mejiplak di ranah Pop cengeng, rekan yang mengaku penikmat berat musik cadas, oh-pasti familiar dengan AC/DC, kan? Paham bahwa grup legendaris dengan ikon pemain gitar berseragam anak sekolahan—namanya Angus Young, in case you don’t know—tersebut asalnya dari Australia. Melek bahwa kontingen asal Sydney yang di negaranya dikenal juga sebagai “Acca Dacca” itu lahir pada November 1973.

Sebagian barangkali mahfum pula bahwa asal muasal nama AC/DC bermula gara-gara Angus dan saudaranya, Malcolm Young, melihat inisial “ac/dc” di mesin jahit saudara perempuannya, Margaret Young. TAPI saya yakin hampir nihil yang tahu sejarah bagaimana logo klasik AC/DC bermula. Saya jamin cuma sedikit bisa bercerita tentang awal mula simbol “samber geledek” itu. Saya juga baru ngeh kok. Begini kisahnya…

Lambang khas nan adiluhung itu diciptakan oleh desainer grafis/tipografer bernama Gerard Huerta. Muncul pertama kali pada 1977, tepatnya di album Let There Be Rock (versi internasional, yang notabene sampul albumnya berbeda dengan yang diedarkan di Australia).

Sejak babak inilah seolah secara informal disepakati bahwa tipografi “formasi petir” AC/DC di Let There Be Rock merupakan logo paling sah. Namun, sejatinya, Gerard telah muncul dengan ide yang mirip ketika dia menggarap album AC/DC setahun sebelumnya, High Voltage.

Menurut dia, timbulnya inspirasi menonjolkan atribut geledek sebenarnya sederhana saja, semata merupakan interpretasinya dia terhadap tajuk album: High Voltage.

“It was basically my typographical interpretation of the title”

Sementara mengenai tipografi “formasi petir” di Let There Be Rock, pria Hispanik yang berbasis di Connecticut itu bertutur panjang lebar. Ia bilang semuanya tak bisa dipisahkan dengan tipografi kelompok Blue Oyster Cult karyanya di album On Your Feet On Your Knees.

Dari situ kemudian Gerard melakukan riset tentang tipografi religius, khususnya Gutenberg’s bible type. Sampai akhirnya tulisan AC/DC dikreasikan bak plat nomor mobil dari logam dengan efek kerlap-kerlip. Dan, di pikiran Gerard, saat tulisan AC/DC ditempatkan di foto yang indah itu akan terbersit sedikit kesan seram.

“After researching religious typography and, in particular, the Gutenberg’s bible type, I came up with some lettering based on that, with the twist being that it was metallic, as if it were a car nameplate. The lettering took on a slightly sinister look, particularly when placed over this wonderful photo”

Ladies and gentlemen, Let There Be Rock

Sementara gambar-gambar di bawah ini adalah kilas balik, antologi sebelum ditemukannya logo klasik AC/DC.

High Voltage rilisan Australia (1975)

T.N.T. (1975)

Dirty Deeds Done Dirt Cheap rilisan Australia (1976)

Dirty Deeds Done Dirt Cheap versi internasional (1976)

Let There Be Rock rilisan Australia (1977)

Hey, matter of fact, walau secara non resmi telah dideklarasikan logo sah AC/DC saat Let There Be Rock—versi internasional—dirilis, pada kenyataannya kesepakatan itu tidak langsung diaplikasikan di album tahun berikutnya, Powerage.

For those about to Rock, we salute you!

____________________

*Artikel ini sudah sedikit direvisi, pertama kali ditayangkan di Musikator pada Januari 2009

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Three Amigos fi
41 years ago this month, Ian "Lemmy" Kilmister, "Fast" Eddie Clarke, and Phil "Philty" Animal, were in the studio to record Iron Fist.
Scroll to Top