Sepertinya tinggal menunggu waktu saja untuk Michael Franti, sang penggagas grup Spearhead, berganti kewarganegaraan menjadi WNI lalu bermukim di Ubud, Bali. Bagaimana tidak, ia merupakan salah satu pesohor yang paling rajin tampil di Bali. Sudah tak terhitung berapa kali pria jangkung kelahiran 21 April 1966 ini beraksi di Pulau Dewata.
Pun Senin, 28 Desember 2010, sosok gimbal yang mengawali karirnya lewat band industrial punk The Beatnigs ini kembali menggelar konser di salah satu sudut turisme Bali, Sanur. Tepatnya Serambi Arts Antida, sebuah arena berkesenian berkonsep beer garden yang menyatu dengan studio rekaman Antida. Dan bagi orang sekaliber Michael Franti, sepertinya jor-joran iklan boleh sedikit dinafikan. Cuma perlu pengumuman kecil di jejaring sosial beberapa hari sebelum Hari H serta gerak getok tular antar teman saja sudah cukup untuk mendatangkan seratusan orang penikmat musik untuk datang. Yang menyentuh, biduan kelahiran California ini menggratiskan pertunjukannya. Di pintu masuk hanya ditaruh sebuah kotak amal untuk Yayasan Bumi Sehat, sebuah organisasi nirlaba di Ubud yang memang sepenuh hati didukung oleh Michael Franti semenjak beberapa tahun belakangan.
Sedikit menit setelah pukul 21.30 WITA Franti mengambil alih panggung. Sebelum itu, No Stress, Dialog Dini Hari serta seorang rapper/poet impor kulit hitam tampil mengawali. Michael tampil tidak sendiri. Ia didampingi oleh sejawat yang selama ini kerap mendampinginya tiap kali manggung di Bali. Salah satunya si cantik berambut hitam panjang—kalau komentar karib saya, “Mirip Hope Sandoval, tapi versi hippie”—yang menjabat sebagai vokal latar. Suasana malam itu amat kasual, hangat, nyaris tanpa jarak, satu sama lain saling mengenal, nihil nuansa selebritas. Audiens, sepengamatan saya, datang dari berbagai penjuru, mulai Kuta, Sanur, hingga Ubud. Beberapa pesohor lokal tampak di jajaran penonton.
[nggallery id=2]
Sejak lagu pertama penonton yang sebagian bule sudah turut bernyanyi dan menari. Kerap Franti mengundang orang-orang untuk bareng berdansa bersamanya di atas panggung. Walau sepertinya hanya sebagian kecil pengunjung yang solid hafal dengan tembang-tembang milik Franti—cuma menyahut di bagian reffrain atau sambutan responsif menggoyangkan tangan di atas mengikuti komando—namun semua tersimak bergembira menikmati. Sebab karya-karya Franti memang mudah dicerna. Selain musiknya nyaman di telinga, liriknya relatif sederhana—soal cinta, perdamaian & keadilan sosial, gestur Franti yang begitu simpatik & membumi sangat membantu terciptanya atmosfer akrab lagi intim, membuat orang-orang yang hadir di sana bak menanggalkan segala gundah lalu mulai bersenandung seraya riang ria berdansa.
Kurang dari sejam kemudian Franti mengakhiri aksinya dengan membawakan “Say Hey (I Love You)”. Jujur saja, saya belum puas. Enam (atau tujuh?) lagu adalah durasi yang agak terlalu pendek. Tapi tiada satu pun yang meminta encore. Barangkali dirasa kurang elok saja: sudah dikasih gratis ya jangan minta tambah.
Franti memang telah tak segarang, tak seradikal, tak sepolitikal, saat ia mengepalai projek musikal The Disposable Heroes of Hiphoprisy. Franti memang sudah berubah: memilih tetap menggugah lewat syair indah seraya tetap bermisi megah serta berfaedah. Dan itu sah.
[nggallery id=3]
*Artikel mengenai konser Michael Franti ini tayang pertama kali pada 28 Desember 2010 di situs Rolling Stone Indonesia. Saya tampilkan di situs pribadi saya demi mendokumentasikan tulisan yang pernah saya buat untuk arsip yang sahih lagi sinambung. Versi yang dimuat di Rolling Stone bisa dilihat di sini
*Foto-foto paling atas & tengah adalah milik Lakota Moira
*Foto-foto di bagian bawah adalah milik Yogi D. Sumule