search

Kebangkrutan Aksara adalah Kebangkrutan Musik Indonesia?

Bicara dinamika musik di dalam negeri---apakah membaik meingindikasikan kemajuan, semata semenjana alias stagnan, atau malah total kemunduran---tampaknya bisa disimpulkan lewat dua fenomena yang lucunya terjadi di bulan paling akhir 2009, Desember.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Bicara dinamika musik di dalam negeri—apakah membaik meingindikasikan kemajuan, semata semenjana alias stagnan, atau malah total kemunduran—tampaknya bisa disimpulkan lewat dua fenomena yang lucunya terjadi di bulan paling akhir 2009, Desember.

Yang paling pertama adalah kabar buruk: Aksara Records memutuskan untuk berhenti beroperasi. Label independen yang menaungi kongsi musisi rancak macam Efek Rumah Kaca, White Shoes & The Couples Company, Sore, The Brandals, dll; serta pernah menerbitkan puluhan album lokal + beberapa manca negara ini menghentikan aktivitasnya karena alasan klasik: kehabisan aliran dana. Aldo Sianturi, pemegang tampuk Managing Director, ketika berbincang bersamanya beberapa waktu lalu, secara implisit pernah menyebut bahwa sejatinya Aksara Records kendalinya sudah oleng bahkan semenjak dia belum bergabung. Usaha keras mantan petinggi di Universal Records Indonesia tersebut nyatanya kemudian nihil membuahkan hasil akibat cedera di Aksara yang telah begitu berat. Apalagi sang pemilik juga menolak mengucurkan subsidi. Opsi yang tersisa bagi usaha rekaman yang telah berpraktek sepanjang enam tahun itu memang tinggal satu: tutup.

Kolapsnya maskapai musik terhormat itu cukup jitu menggambarkan situasi yang sedang menimpa musik Nusantara yang juga sedang terhuyung-huyung. Utamanya penjualan fisik album rekaman. Eksistensi “musisi sejuta kopi” sudah tinggal kenangan. Artis yang mengklaim albumnya laku hingga 420.000 keping adalah Kangen Band via Bintang 14 Hari. Itu pun silam, di tahun 2008. Pada 2009, sanggup ludes puluhan ribu saja sudah dikategorikan ultra luar biasa. Nada Sambung Pribadi (ring back tone) serta Nada Dering (ring tone), yang sempat menjadi tumpuan harapan, belakangan popularitasnya perlahan menurun. Sambutan publik tak segegap gempita seperti di awal kemunculan dan sinarnya terus makin meredup. Penghasilan ekstra dari konser juga—jika si artis masih di peringkat menengah, belum sekelas, katakanlah, Slank—nilai nominalnya masih rendah, jauh dari standard “sehat sejahtera.” Belum lagi, toko kaset dan cakram digital makin menciut jumlahnya. Carut marut ini makin lengkap dengan aktivitas pembajakan yang bukannya berkurang tapi justru meningkat.

Kiamat sudah tinggal sejengkal bagi industri musik Indonesia?  Tidak juga. Sebab di sisi lain pengakuan terhadap eksistensi para musisi Indonesia beserta karyanya malah terus meroket. Utamanya di Asia Tenggara. Artis tanah air merajai jajaran tembang plus memperoleh penghargaan bergengsi di Malaysia bukanlah kisah baru. Tahun demi tahun dijamin pasti ada nama seniman musik Indonesia meraih piala ini dan itu di negeri jiran. Dan yang paling mutakhir, ini kabar sungguh menggembirakan, perhelatan tahunan berskala Asia Tenggara (Indonesia/Malaysia/Singapura/Filipina/Thailand) bertajuk Junksound Awards, Indonesia merebut 9 dari 10 trofi yang dilombakan. The S.I.G.I.T. merupakan grup yang meraih rekognisi terbanyak yaitu Best Pop/Indie Rock Act, Best Live Act serta Album/EP of the Year.


The S.I.G.I.T.

Semoga saja apresiasi sedemikian tinggi mampu mengobarkan semangat lagi menebalkan kepercayaan musisi-musisi dalam negeri agar terus berkarya demi tetap tegaknya kejayaan musik Indonesia.

Keep the faith.

*Tulisan ini pertama kali tayang di majalah The Beat Jakarta edisi Desember 2009

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top