search

Jokowi, Anies Baswedan, Amien Rais, dan Koar-koar Apolitis

Berondongan kalimat di bawah ini sejatinya saya ungkapkan di status Facebook saya belasan menit yang lalu
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Berondongan kalimat di bawah ini sejatinya saya ungkapkan di status Facebook saya belasan menit yang lalu. Saya rasa perlu saya munculkan juga di situs pribadi saya untuk menegaskan sudut pandang saya tentang pro-kontra copras-capres di linimasa: bagaimana sebagian orang merasa terganggu bahwa linimasanya riuh oleh publik yang membahas siapa capres paling pas di masa depan. Ada yang marah besar. Ada yang menggerutu. Ada yang menggurui.

Berikut adalah sikap saya tentang hal tersebut, sekaligus menjelaskan pilihan politik saya—yang dituturkan dengan tutur kata terjaga serta mengedepankan akal sehat oleh Anies Baswedan di video terlampir.

…Sejujurnya saya memang menyukai Jokowi. Walau tidak sampai setengah mati. Sebab saya masih mencoba kuat menjaga keberpihakan yang rasional, dengan akal sehat. Yang jelas, saya bermula menyukai Jokowi karena ia penggemar musik rock, sebuah fenomena ganjil di birokrasi pemerintahan. Penyuka rock sering, bagi saya, terhubung dengan imej “merdeka”, berani melawan arus, tak mudah disetir. Sesuai dengan fitrah rock-n-roll: membebaskan. Lalu mulai saya amati kiprah Jokowi di pemerintahan, wah, memesona. Ia bekerja, turun ke bawah, bukan priyayi. Apalagi ia bukan bagian dari masa lalu, bukan bagian dari masalah, tiada beban sejarah.

Kilas balik sedikit, dulu saya pernah mengidolakan Amien Rais secara membabi buta. Saya terpukau dengan gombalnya tentang pluralisme, negara federasi, blah blah blah. Saya merupakan salah satu orang yang termakan oleh janji nirwana dan “ketegasan” Amien Rais menggempur Orde Baru. Sang “Lokomotif Reformasi” sukses menenggelamkan akal sehat saya. Belakangan saya tersentak sadar bahwa ia tak lebih dari tipe orang yang pintar mencuri celah serta apa yang diucapkan olehnya adalah semata retorika. Saya akhirnya berubah muak ke si penjaja mimpi. Sekaligus malu. Malu sekali sudah telak dibohongi. Hihi. *nutup muka sambil meremas testikel sendiri saking gemesnya*

Pasca kejadian Amien Rais tersebut saya sedikit menjauhkan diri dari gempita politik. Tidak terlalu peduli dengan coblos-mencoblos. Hanya sesekali protes dari luar pagar, terkadang ikut bergerak turun ke jalan atau memproduksi tulisan ketika muncul masalah yang berhubungan dengan kebinekaan. Saya defisit rasa percaya terhadap orang-orang di pemerintahan yang didominasi muka-muka lama. Pikir saya, mustahil muncul perubahan jika orang yang diharapkan membuat perubahan adalah justru bagian dari masalah, sosok dari masa lalu, punya beban sejarah.

Tetiba, Jokowi dicalonkan menjadi presiden. Optimisme saya perlahan tumbuh kembali terhadap masa depan negara ini. Ia menawarkan kebaruan. Kinerja sudah teruji. Motivasi mengubah keadaannya tinggi. Ia tinggal membentuk tim yang kuat yang terdiri dari profesional untuk mendukungnya. Memang, harus diakui, demokrasi dengan sistem perwakilan ini saya kurang setuju sebab menutup celah untuk munculnya presiden dari kalangan independen. Tapi karena sistem yang sedang dijalankan sekarang ya yang kayak gini, ya sudah, ikuti saja. Saya, sementara ini, patuh pada aturan yang berlaku. Di saat yang sama, berperanserta juga di Manifesto Rakyat Tak Berpartai. Berharap agar di masa depan sistem yang sekarang bisa disempurnakan. Berteriak dari luar pagar, dalam sistem demokrasi macam sekarang, bakal kurang efektif. Memang harus masuk ke dalam.

Keyakinan saya kian tumbuh setelah menonton video ini yang memuat penjelasan Anies Baswedan soal pandangannya terhadap Jokowi. Anies mengungkapnya dengan rasional, menggunakan akal sehat, membeberkan keberpihakannya secara runut, santun, obyektif, intelek. Bagi saya hal-hal tersebut penting. Sesuatu itu dilihat dengan menggunakan kacamata yang jernih, teguh menggunakan akal sehat, tak mudah terbutakan oleh retorika. Saya, mirip dengan kejadian Amien Rais, kembali terpukau. Bedanya kali ini saya terpukau atas dasar penjelasan-penjelasan nan rasional, hampir nihil retorika. Maaf saja, retorika tak lagi mempan membuai saya. Ini akan dinaikkan segini milyar, itu akan digenjot segitu trilyun, ini akan diperluas segitu hektar, itu akan diminimalkan hingga nol, koar-koar khas pedagang pasar malam itu bagi saya cuma pidato tanpa isi. Macan Retorika belaka.

Silakan ditonton saat luang. Redam dulu ketaksetujuan, tonton dulu sebelum memberondongkan protes. Lalu, bagi yang merasa terganggu dengan riuh copras-capres ini, well, santai saja, dudes and dudettes. Orang-orang yang sedang bersemangat membahas copras-capres ini merasa sedang berperanserta membenahi negeri. Menganggap dirinya sedang menjalankan misi penting. Walau sebagian, memang sih, sekadar eforia. Tapi gak usah dikomentari sengak bangets deh. Sama aja kayak saya, saya gak terlalu suka bola, saya menahan diri agar tidak berkomentar negatif dan memberi ruang bagi mereka penggila bola untuk membanjiri linimasa saya dengan gono-gini bola. Saya gak protes. Tidak juga sok keren menguliahi bahwa bermain bola itu permainan gak jelas (bayangkan, 1 bola kecil dikerubutin 22 orang, dan harus bunuh-bunuhan gara-gara itu? Don’t you guys have anything better to do?!). Sudah begitu, sama saja, jika anda memang golput, apolitis, atau apa saja, santai saja, gak usah kelewat mendiskreditkan soal copras-capres ini. Ini bagian dari kebinekaan, berbagi wilayah maya merdeka, mesti bisa menahan diri. Jangan serta merta menganggap bahwa diri anda lebih pintar dari orang-orang yang sedang bersemangat dengan copras-capres ini. Junjung tinggi saja kebinekaan, kawan-kawan baikku yang terhomat.

Nah, bagaimana, sudah ditonton? Sudah gak marah-marah lagi? Baik, mari bersulang!

• Foto di halaman depan dipinjampakai dari pemilihan.info

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top