search

(Instagram-Approved) Audio Visualia Acoustica Exotica

Mari kilas balik sedikit. Tadinya saya hendak menulis catatan ini ketika saya sedang di Bali pertengahan Juli kemarin.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print


Mari kilas balik sedikit. Tadinya saya hendak menulis catatan ini ketika saya sedang di Bali pertengahan Juli kemarin. Tapi ternyata saat di Bali amat sulit bagi saya untuk membagi waktu antara:
1. Menjadi partisipan seminar. (NB: Saya diundang ke seminar “Bali in Global Asia”—sepanjang 3 hari—dan bertindak sebagai discussant)
2. Bertemu sejawat akrab single malt syndicate. (Yes, Glenfiddich, please.)
3. Minum wiski dengan angkatan yang lebih muda. (Jim Beam Devil’s Cut will do, thanks.)
4. Mengkonsumi minuman beralkohol bukan-wiski (dari Vodka 420 Below, tequila—yang kayaknya substandar karena besoknya kepala saya seperti hendak meledak—hingga, lords have mercy, menenggak arak) atas nama kemaslahatan jejaring perkawanan, baik bisnis maupun non-profit (yang berujung pada pahala finansial dan spiritual).
5. Mengajak jalan/memandikan/memberi makan/menemani tidur dua anjing kecil saya, Vivienne Westwood & Patty Hearst.

Tadinya juga saya hendak mengusung tema yang dekat dengan perubahan, pemberontakan, perlawanan; karena dari seminar yang saya ikuti dan dihadiri para intelektual luar dan dalam negeri yang khusus meneliti Bali (diistilahkan sebagai Baliologist), saya terinspirasi untuk berbuat yang lebih berguna lagi bagi tanah tempat saya dilahirkan. Caranya: mengkritisi apa-apa yang selama ini cenderung disakralkan di Bali. Di saat yang sama juga menawarkan solusi, melakukan perbaikan, merapikan. Sebab cara bermanis-manis sudah terbukti tidak mempan. Bali terlanjur terlena dengan segala puja-puji. Padahal sejatinya makin ke sini makin keropos saja fondasi yang menyangga Bali. Kalau mau menjadikannya kembali cerlang cemerlang, basa-basi harus ditanggalkan, ngomong mesti ofensif, pendekatannya kudu frontal lagi konfrontatif. The clock is ticking. Bali sudah mencret, bukan baru sebatas sakit perut. Pendeknya, emosi saya membara. Playlist saya untuk Occupy Jakartabeat, rencananya, yang bertema mengganggu, menggugah, menggugat, revolusioner, groundbreaking.

Tapi rencana tinggal rencana. Giliran saya memiliki waktu luang, ternyata di hari yang sama saya harus kembali ke Sydney, lokasi dimana saya kini berdomisili. Artinya saya harus berpindah ke Rencana B: Okelah, nanti playlist dikerjakan di Sydney saja di kala akhir pekan (sambil minum wiski! Sendiri! Narkolepsi tapi sarat konsentrasi!). Namun, sekali lagi, ada memang hal-hal yang di luar kekuasaan kita, manusia hanya bisa berencana, tapi wiski yang menentukan. Ketika mulai mengumpulkan materi playlist (seraya minum wiski, tentunya), angkara saya pada nestapanya Indonesia ternyata berangsur sirna. Australia yang tata tentram kerta raharja, cuma dalam hitungan kurang dari seminggu telah digdaya meredupkan nyala api yang tadinya besar berkobar. Saya terlanjur adem. Susah memaksa diri untuk marah. Ah, persetanlah segala persoalan di Nusantara. Selama masih bebal dan anti otokritik serta terus saja menganggap NKRI adalah gemah ripah loh jinawi, masih terlena dengan senandung usang “tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, sudahlah, minta tolong saja sama nasionalisme, Pancasila dan Tuhan. Siapa tahu NKRI masih bisa diselamatkan.

Anyway, to cut a long story short, berujung kemudian pada penjelajahan saya ke YouTube dan menemukan → menyukai → mengagumi → mencintai Soul Kitchen (SK Session), sebuah program musik di Perancis yang menyodorkan opsi (sebagian besar) artis-artis lokal yang notabene kurang familiar bagi kebanyakan orang (terutama saya—yang oleh sebagian lawan jenis kerap dibilang mirip Javier Bardem—ini). Dalam konteks berkesenian dan estetika, yang saya suka dari SK Session adalah pilihan para penampilnya, dari sebanyak 221 video, rata-rata di atas rata-rata. Bicara setting, walaupun cenderung bersahaja, gak neko-neko, si artis cukup duduk di atas tempat tidur hotelnya, atau sekadar nongkrong di trotoar jalan, tapi hasil finalnya bagus banget. Gambarnya indah. Kerap bernuansa pastel. Dipercikkan aksen warna-warna cerah atau ornamen berkarakter kuat di sana-sini (think Instagram). Makin mengagumkan adalah mutu suara yang dihasilkan begitu apik, bersih, jernih. Terutama jika mengingat bahwa pertunjukannya berlangsung live (dan sebagian besar akustik/unplugged). Sepertinya juga kamera yang dipakai bukanlah yang segede godzilla (keliatan di beberapa adegan). Dibandingkan dengan syuting videoklip-videoklip lokal yang sering terkesan kayak mau bikin film sekolosal Ben-Hur tapi hasilnya segitu doang, dengan konsep simple-and-sweet pencapaian SK Session justru luar biasa. Magnifique!

http://www.youtube.com/watch?v=_9XRmYVxv0U
01. Atlas – Hyphen Hyphen
Pemilihan lokasinya memang agak mainstream: Menara Eiffel. Namun band yang ditampilkan konser secara live bukanlah yang tipe elegan atau eksotik tapi justru yang agak-agak avant-garde. Vokalisnya mengingatkan saya pada Alison Moyet (Yazoo) namun yang ini attitude-nya lebih punk rock (pula badannya lebih kurus, tentu saja). Perhatikan juga pengaturan warna oleh pembuat video ini, nyaman dikonsumsi mata serta apik di estetika. Saya cukup yakin bahwa pembuatan video ini tak segawat pembikinan Ben-Hur.

http://www.youtube.com/watch?v=yyoO1rShLlw
02. Dance Hall – Axel and the Farmers
Ada warna ska-punky khas The Clash di sini. Pun lucu, kedua musisinya, yang satu di suruh bersimpuh, satunya lagi tiduran, lalu dibikin klip. Hasilnya? Saya pikir berani nyodorin ke Channel V untuk dipertunjukkan ke publik global sekali pun.

http://www.youtube.com/watch?v=-XEkNcTcAGE
03. Odile – Nadeah
Ini juga sama, cewek muda ber-attitude punk rock walau musiknya pekat mengarah ke jazz/boogie woogie/rockabilly. Perhatikan nuansa warna yang muncul di sini. Kalau di Instagram bertajuk apa, Toaster? Amaro? Rise?
NB: Ada kejutan Led Zep-esque di penghujung lagu!

http://www.youtube.com/watch?v=PGVTfsU-3ho
04. T’es Gentille – Sam
Harus diakui, saya agak Francophile. Apalagi saat dapetin klip ini, wih, langsung meleleh. Spontan menganggap diri setara elegannya dengan Serge Gainsbourg atau Jean Paul Belmondo.
Jadi mari berdandan rapi, menyemir sepatu, mengangkat dagu ke atas sedikit, bersenandung anggun seraya setengah memicingkan mata menghina terhadap selera dandan NOFX’s Fat Mike …Monsieur Mike, vous devriez poursuivre votre tailleur en justice!

http://www.youtube.com/watch?v=RgQChwHbDo4
05. The Lake – Divine Paiste
Lokasi syutingnya di bawah jembatan. Orang-orang juga lewat aja, jalan aja, biasa aja business as usual. Ini konsep keren sebab dari situ justru menyeruak kesan hangat, natural, tak ada akting yang dibuat-buat, relatif nihil skena rekayasa.

http://www.youtube.com/watch?v=CzgxnShm3zg
06. Moving – Y’Akoto
Aduh. Eksotik ini mah. Simak padu padan segala faktor: latar belakang ruangan serta lukisan yang terpajang, warna dan corak baju, tipe musik, ekspresi penyanyi, dengan pewarnaan nan Instagram. Perfect-o.

http://www.youtube.com/watch?v=vHRh4ofPmFA
07. West Coast – The Dodoz
Saya suka lagu ini. (Masuk indie pop ini ya?) Anak-anak muda yang piawai menjaga harmoni. Plus, mungkin mereka lupa bawa tamborin, maka itu segepok kunci dipakai sebagai penggati. Ha. Ace.

http://www.youtube.com/watch?v=fI1zp3Buhyw
08. We & I – Captain Kid
Saat lagu baru mulai, terdengar teriakan-teriakan riang anak kecil. Jika kita tak menonton videonya pasti kita menyangka bahwa teriakan tersebut adalah memang bagian dari lagunya. Padahal kagak. Dan teriakan-teriakan tersebut (ada kicau burung juga!) sayup-sayup masih terdengar sepanjang lagu… So sweet. Hey, George Harrison, you there?

http://www.youtube.com/watch?v=eKk06UMudlc
09. Vertige Horizontal – Bertrand Belin
Perancis dan bariton. Ah, soon I’ll be a certified Francophile.

http://www.youtube.com/watch?v=9RNMIY0Ei4Q
10. Quelqu’un d’autre – La Grande Sophie
Help me God I’m a Francophile.

http://www.youtube.com/watch?v=9lbZwf3mQqo
11. Shy – John & Jehn
Sungguh bersahaja: Di dalam kamar, duduk di atas tempat tidur (nyelip selimut merah!), lampu di pojok dibiarkan menyala, kentara sekali bahwa si pembuat klip ini dominan mengandalkan kehandalan mata dan estetika berkesenian saja. Kameranya hanya menyorot dari pinggang ke atas, pose jarak dekat, dan hasilnya? Hangat. Cuteness dari si penyanyi perempuan jadi kian menonjol (love that scarf, miss!), kedekatan hubungan antara si laki dan perempuan pun termunculkan. Saya geregetan nonton klip ini. *remas testikel sendiri*

http://www.youtube.com/watch?v=4NqWg2EIz9M
12. Into the Snow – Rivkah
Trip hop yang bikin menggigil. Momentum dibangun pelan sampai berujung ekstase. Kesan misterius-lagi-bersaljunya lebih dapet dibanding, er, what’s the title again, “Snow in Sahara” milik Anggun.

http://www.youtube.com/watch?v=IjonOeJ3Oyo
13. T.L. – Micky Green
Trip hop metropolitan. Cocok dipakai sebagai soundtrack di kala dini hari di Paris, adegannya di dalam taksi, pulang dari diskotek, kembali ke apartemen, bersama wanita yang baru dikenal karena duduk sebelahan di bar. Dia mengenakan gaun motif macan. Pengharum tubuhnya sepertinya Gucci Guilty. Tanpa berhubungan seks. Hanya minum latte di beranda apartemen. Memandang temaram lampu dan hutan beton. Mengobrol sampai subuh. Dan berjanji bertemu kembali minggu depan. Di diskotek yang sama, lokasi bar yang sama, dan minuman yang sama.

http://www.youtube.com/watch?v=MMp68wXx9Ko
14. I Lost My Lungs – Boogers
Whoa! French version of Beck Hansen! Bahasa Inggrisnya lucuk. Klipnya sederhana namun asyik.

http://www.youtube.com/watch?v=MoCD3XXTaiM
15. King of the West – Cocosuma
Tembang berkecepatan sedang yang menyejukkan. Ada serpihan Blue Ocean di sana-sini.

http://www.youtube.com/watch?v=fL50aOcU13E
16. Pop Culture – Creature
Nah, ini syutingnya di beranda apartemen aja. Ruang gerak terbatas tapi terus berdansa dengan bebas! Agiter cette ass!

http://www.youtube.com/watch?v=gg3kAuLjsUw
17. Je N’oublie Pas – Brune
3 hal menarik tapi tak saling berhubungan:
– syutingnya di tengah jalan
– penyanyi ceweknya kayaknya campuran Maroko-Perancis
Je n’oublie pas. Aku tidak lupa. Aku tidak lupa bahwa aku Francophile.

http://www.youtube.com/watch?v=V3ice8_oY8c
18. Baltasar and the Angel – Budam
Suaranya bagus, agak-agak Tom Waits. Latar belakangnya piano-piano klasik dan jejeran piringan hitam. Tapi kaosnya Atticus. Hmmm… Gak paham padupadan busana! Murtad Belmondo! Dia pasti bukan orang Perancis! (tolong di-Google ya, fren) …But, hey, he’s such an awesome singer!

http://www.youtube.com/watch?v=1dGc2cpKSew
19. Night and Day – Sarah Blasko
Instagram-approved! Hehe. Anyway, saya suka sekali dengan Sarah Blasko (she’s Australian!). Suaranya jernih, bening, halus. Ketika harus meliukkan suara, pun mudah saja dilakoninya. Mana cantik lagi. Milih baju juga jago. “Packaging yang efektif” kalo istilahnya marketing guru.

http://www.youtube.com/watch?v=0kyyyhymmYQ
20. As Tears Go By – The Rodeo & Exsonvaldes
Versi stripped-down dari lagu klasik milik Rolling Stones. Syahdu sekali. Golden moment-nya adalah ketika si perempuan mulai ikut menimpali dan bernyanyi. Merinding.

http://www.youtube.com/watch?v=nh-jJ2QnMkI
21. La Valse РBen Mazu̩
Tembang yang sejatinya kalem bisa terasa berenergi galak gara-gara latar belakang tembok merah menyolok.

http://www.youtube.com/watch?v=jJYnnObih88
22. Aqualast – Rover
Lagu yang dari sononya terkesan misterius jadi kian misterius akibat penerangan yang sengaja diatur minim dan menyertakan penggunaan lilin (merah, aksen agresif). Bulu kuduk saya berdiri menyimak tembang ini.

http://www.youtube.com/watch?v=nqYUsGTkG0g
23. Turn Me Off – Le Prince Miiaou
Lagu yang sarat harmoni. Tiap instrumen satu sama lain saling melengkapi (tak sekadar jadi tempelan). Salah satu top 10 favorit saya di playlist ini. (Hush hush, she’s cute, eh? Check out the gold blouse that she’s wearing inside her jacket. She’s surely got great taste. Miaouw.)

http://www.youtube.com/watch?v=LmyvYXlhJjg
24. A Mi-chemin – Hocus Pocus
Hip hop and you don’t stop. It’s jazz rap so watch your step.

http://www.youtube.com/watch?v=i7gcePZ8Dmk
25. C’mon Talk – Bernhoft
Hip hip hop you don’t stop. Jazz jazz rap so watch your step. Here comes Blue Blue Note juggernaut.

RUDOLF DETHU
A fading bar-room philosopher and a broken hearted Situationist International.


_________________

• Tulisan ini sejatinya adalah kontribusi saya untuk jakartabeat.net dalam memenuhi undangan mengisi program rutin mereka, Occupy Jakartabeat, pada 29 Juli 2012. Versi orisinilnya silakan klik di sini
• Foto di halaman depan dan dalam dipinjampakai dari Facebook page resmi dari La Grande Sophie

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top