search

Homegrown & Well Known: DEWA PALGUNA [Indonesian version]

Satu dari sangat sedikit sosok menonjol di Bali yang relatif bebas dari praktek lancung Korupsi-Kolusi-Nepotisme.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
DewaPalguna

• For English version please click here

Satu dari sangat sedikit sosok menonjol di Bali yang relatif bebas dari praktek lancung Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Amat mumpuni baik di perkara intelektual serta musikal-teatrikal. Dan tampaknya sangat pantas ketika sebagian aktivis demokrasi dan HAM menyorongkan namanya sebagai kandidat Gubernur dari jalur independen.

Tak banyak yang tahu apa saja aktivitas anda pasca karir anda di Mahkamah Konstitusi.
Ha ha … pertanyaannya bersahaja tapi jawabannya jadi bertele-tele (dan di sana-sini mungkin Anda jadi merasa aneh). Hanya berselang beberapa hari setelah saya pamit dari MK saya sudah “ditangkap” oleh kawan saya Kadek Suardana (Ketua Yayasan Arti, yayasan yang ikut saya dirikan yang bergerak di bidang pengembangan kebudayaan dan kesenian, khususnya seni pertunjukan) dijadikan Executive Producer drama tari Sri Tanjung (ceritera rakyat yang sesungguhnya homeground-nya adalah Banyuwangi tetapi populernya jusru di Bali, terutama lewat gaguritan, seni berceritera yang diekspresikan dengan cara menembang). Targetnya: pentas di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Persoalan klasik pun menghadang: di mana dan bagaimana mendapatkan uangnya? Anda tahu sendiri, betapa tak mudahnya menemukan orang yang mau mensponsori kesenian berbasis tradisi macam itu. Padahal itulah tanggung jawab saya sebagai produser pelaksana, sementara saya sama sekali “buta huruf” dalam soal gali menggali uang. Setelah colek kiri-kanan menggunakan jalur teman (terpaksa) akhirnya berhasil juga pekerjaan berat itu dilaksanakan….

Pada saat yang sama saya harus menyelesaikan disertasi doktor saya di Universitas Indonesia. Kekhawatiran bahwa tugas menulis disertasi akan terganggu kalau saya pulang ke Bali akhirnya benar-benar terjadi. Anda tahu sendiri, ada begitu banyak “daftar wajib hadir” dalam tata pergaulan masyarakat adat di Bali yang suka atau tidak harus saya beri waktu. Untung promotor saya, Prof. Jimly Asshiddiqie, sangat baik. Mana ada di dunia ini promotornya lebih sering menghubungi promovendusnya seperti yang dilakukan oleh Prof Jimly kepada saya? Beliau menyangka saya berlama-lama nulis disertasi karena ingin sempurna sehingga, mungkin saking tak tahan, beliau mengirim SMS (yang hingga saat ini saya simpan), “Pak Palguna, biarlah kita tetap jadi manusia biasa saja. Biarkan kesempurnaan itu jadi milik Tuhan. Saya mau tahun ini Anda harus sudah doktor.” Itu terjadi kira-kira akhir 2010. Toh, baru pada bulan Mei 2011 saya berhasil menyelesaikan studi doktoral.

Sekarang kegiatan saya lebih banyak mengajar, termasuk sesekali menjadi dosen tamu atau sekadar jadi pembicara di perguruan tinggi lain di luar Universitas Udayana, tempat saya mengajar. Asyik juga, bisa jalan-jalan dibayari orang sambil baku tukar pengetahuan.

Orang-orang Bali yang sekarang terlibat di kancah politik nasional didominasi figur “abu-abu” sementara anda sendiri kerap dicap “putih” atau “bersih”. Saya pikir di skala nasional Bali sudah seharusnya diwakili oleh figur macam anda. Kenapa anda tidak melanjutkan karir di Mahkamah Konstitusi?
Terima kasih untuk penilaian itu. Prinsip saya, jangan pernah menghamba pada jabatan atau terpenjara oleh keinginan. Dalam pekerjaan apa pun yang melibatkan penggunaan kekuasaan atau pemberian kepercayaan, walau pun itu sekadar menjadi ketua panitia misalnya, saya selalu merasa bahwa karakter dan integritas saya sedang diuji. Untuk itu saya selalu berusaha setia kepada kata hati. Kalau kata hati saya mengatakan tidak, betapa besar pun dorongan atau permintaan orang yang mengharapkan saya untuk bersedia mengerjakan sesuatu atau menduduki jabatan tertentu, akan saya tolak. Jujur saja, beberapa kali ada tawaran sangat menarik agar saya mau “kembali ke Jakarta” (seperti lagu Koes Plus saja he he), termasuk untuk kembali ke MK, tapi saya bilang, “terima kasih, untuk sementara biarkan saya menikmati kemerdekaan saya sebagai guru.” Bagi sementara orang, mungkin ini dianggap jawaban absurd, tetapi itulah jawaban saya yang sejujurnya. Itulah kata hati saya dan itu yang memberi saya kebahagiaan, setidak-tidaknya hingga saat ini. Konkretnya begini: saya tidak mampu menarasikan lewat kata-kata kebahagiaan seperti apa yang saya rasakan tatkala melihat anak bimbingan saya mampu beragumentasi mempertahankan skripsi atau tesisnya di hadapan para dosen pengujinya dan sekaligus mendapatkan pujian. Dalam keadaan demikian, pinjaman di bank yang angsurannya telah nunggak tiga bulan pun terasa seperti telah lunas terbayar ha ha… Mungkin nanti, setelah masa-masa menikmati kemerdekaan ini telah mampu saya lalui dan tempatkan secara bijak, tawaran semacam itu akan saya pertimbangkan.

Saya tidak pernah memposisikan diri saya sebagai politisi, termasuk tatkala saya berada di MPR dan turut terlibat dalam proses perubahan UUD 1945. Mungkin karena itu kawan-kawan saya di DPR tidak ada “hambatan psikologis-politis” tatkala memilih saya sebagai salah satu Hakim Konstitusi yang diusulkan oleh DPR (sebagaimana Anda ketahui, 9 orang hakim itu, 3 berasal dari DPR, 3 dari Presiden, dan 3 dari Mahkamah Agung). Maksud saya, mereka memilih saya lebih dikarenakan pertimbangan persahabatan daripada pertimbangan politik.

Dewa Palguna, Konstanz, 2008
Seusai memberi kuliah umum tentang “Status and Role of Constitutional Court in Indonesia’s Legal System”, Konstanz, Jerman, 2008

Saya percaya, ke depan akan makin banyak anak muda Bali mengisi pentas politik nasional. Banyak di antaranya yang, di mata saya, memiliki talenta, kecerdasan intelektual, dan keberanian. Anda lihat sekarang, sekadar menunjuk salah satu contoh, semua personil Komisi Pemilihan Umum, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, di Bali diisi oleh anak-anak muda. Yang lebih membahagiakan lagi, banyak di antaranya diisi oleh kalangan perempuan. Contoh lain, di tingkat nasional, ada anak muda namanya I Gede Pasek Suardika yang kini menjadi Ketua Komisi III DPR, ada I Gusti Putu Artha, yang pernah menjadi anggota KPU Pusat. Dulu kita juga pernah memiliki wakil gubernur dari kalangan anak muda, IGN Kesuma Kelakan, yang sekarang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka ini adalah contoh anak-anak muda yang cerdas. Anda bayangkan, apa yang akan terjadi bila pada diri anak-anak muda macam ini sekaligus tertanam pula integritas pribadi yang kuat. Jika itu terjadi, saya tidak kaget kalau suatu ketika nanti merekalah yang akan mewarnai sebagian dari sejarah negeri ini.

Nama anda rajin mengisi daftar acara aktivisme dan/atau tercantum sebagai pengurus—atau minimal penasehat—organisasi pro-demokrasi/HAM. Sepertinya nama anda jadi semacam legitimasi bahwa sebuah acara atau suatu organisasi bertendensi “bebas KKN”. Bagi anda apa 3 isu dengan urgensi tertinggi yang harus segera ditangani?
Saya juga heran, mengapa setiap kali anak-anak muda atau para aktivis, entah itu di kampus maupun di luar kampus (khususnya aktivis NGO), mengadakan kegiatan, mereka sering sekali mengharapkan keterlibatan saya. Lama-lama saya khawatir saya jadi besar kepala karenanya. Bahkan hal yang sama juga “menjangkiti” instansi-instansi pemerintah yang ada di Bali. Seolah-olah saya “diharuskan” untuk bisa dan siap berbicara apa saja di mana saja. Ini kan bukan cuma absurd tetapi juga berbahaya, terutama buat diri saya sendiri. Karena itu, banyak yang saya tolak sebab acapkali “tak masuk akal.” Pernah saya tanya kepada seorang panitia penyelenggara training kehumasan, apa dasar pertimbangannya meminta saya menjadi pembicara di event yang jelas-jelas bukan keahlian saya itu. Eh, dia dengan enteng menjawab, “Bapak kan mantan penyiar dan pemain teater.” Coba, apa hubungannya? Hanya karena saya pernah jadi penyiar dan pernah bermain teater lantas serta-merta dianggap “sah” berbicara dalam suatu pelatihan kehumasan.

Kendatipun saat ini, untuk kegiatan di luar kampus, saya lebih banyak memusatkan perhatian pada kerja-kerja di bidang kebudayaan dan kesenian lewat Yayasan Arti, yang tadi sudah saya singgung, ternyata saya tak mampu menarik diri dari “godaan” untuk sekadar urun pendapat dalam gunungan persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, di level daerah maupun di Pusat. Ada saatnya saya merasa letih, bahkan putus asa, sehingga ingin benar-benar keluar dari berbagai aktivitas itu dan bersikap masa bodoh terhadapnya. Tetapi berkali-kali saya mencoba, tetap saja tidak bisa. Saya jadi teringat kata-kata seorang teman sesama dosen beberapa tahun yang lalu, saat saya baru saja kembali ke kampus. Suatu ketika, kepada kawan ini saya mengatakan, mungkin sebaiknya saya “pensiun” dari dunia aktivis. Rekan saya tadi bilang (sambil nyengir gak enak), “Itu pernyataan paling meragukan yang pernah saya dengar keluar dari mulut Anda. Apalagi dalam suasana seperti saat ini. Sudahlah, terima saja kenyataan bahwa dunia aktivis sudah menjadi semacam kutukan bagi kau.”

Saya pikir-pikir benar juga. Di setiap bangsa yang sedang mengalami proses transisi dari otoritarian ke demokrasi, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, tidak jarang muncul euforia berlebihan yang bahkan beberapa di antaranya bermuara pada kekacauan berkepanjangan yang sulit dikendalikan. Dalam suasana demikian, godaan untuk kembali ke masa lalu, ke rejim yang lebih menjanjikan ketertiban dan rasa aman, mudah sekali muncul. Itu wajar karena proses transisi menuju demokrasi itu di Indonesia, menurut saya, sesungguhnya baru selesai di tingkat norma dan kelembagaan yang paling elementer, yaitu undang-undang dasar. Implementasi lebih jauh dari norma dan kelembagaan demokrasi dalam undang-undang dasar itu, yaitu dalam peraturan perundang-undangan, hingga saat ini masih bersiat tambal-sulam. Itu baru soal norma dan kelembagaannya. Padahal, demokrasi itu bukan sekadar soal penyediaan perangkat norma dan lembaga melainkan soal nilai. Orang tak mungkin berdemokrasi tanpa dijiwai oleh nilai-nilai demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi tak mungkin hidup sehat jika ia diperlakukan hanya sebagai bagian dari sistem politik, bukan bagian dari sistem nilai. Jadi, memang dibutuhkan waktu bagi adanya proses internalisasi nilai-nilai demokrasi itu di kalangan masyarakat. Itu harus dimulai pertama-tama, bahkan terutama, dari parti politik. Ini yang berlum terjadi. Demokrasi kita, untuk sebagian besar, masih bersifat prosedural dan superfisial. Bagaimana mungkin saya bisa masa bodoh terhadap keadaan demikian?

Tetapi, sambil meletakkan dasar-dasar penanaman nilai-nilai demokrasi itu (misalnya melalui perubahan kurikulum sekolah), ada tiga hal memerlukan penanganan segera, yaitu munculnya gejala-gejala berkembangnya etno-nasionalisme yang berkelindan dengan isu-isu primordial, rendahnya kepercayaan rakyat terhadap supra maupun infrastruktur politik, dan lemahnya kepemimpinan. Bahkan, dalam batas-batas atau keadaan tertentu, ketiga masalah itu tampak bukan sekadar saling berkait melainkan membentuk hubungan sebab-akibat, yang satu menjadi semacam conditio sine qua non bagi yang lain. Saya khawatir, apabila ketiga masalah mendasar itu tak terselesaikan dalam waktu dekat, kita sedang berada dalam hitungan mundur menuju kekacauan yang bukan tak mungkin berujung pada disintegrasi bangsa ini.

Ada beberapa aktivis demokrasi/HAM lokal mengkampanyekan anda lewat jejaring media sosial sebagai kandidat Gubernur alternatif, dari jalur independen. Sejujurnya sulit bagi saya untuk obyektif, saya penggemar anda, saya juga sungguh berharap anda turut mencalonkan diri.
Terima kasih sekali lagi…. Oke, karena saat ini waktu pendaftaran untuk menjadi calon gubernur sudah lewat dan para pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur sudah diketahui, saya buka ceriteranya. Suatu siang atau sore, saat saya sedang berada di Jakarta, saya diberitahu oleh saudara Gunadjar, seorang aktivis NGO, yang mengabarkan bahwa sejumlah aktivis yang tergabung dalam wadah yang dinamai Bali Integritas tengah mengadakan diskusi tentang calon pemimpin Bali ke depan. Setelah mengulas berbagai problem dan tantangan yang dihadapi Bali ke depan, tibalah mereka pada pertanyaan: kalau begitu, figur macam apa yang dibutuhkan dan siapa orangnya. “Di situlah muncul nama Bli Pal (maksudnya saya). Bagaimana, Bli Pal siap tidak kalau kita munculkan di media?” Saya menanggapinya dengan bercanda, “Kalau sekadar untuk meramaikan suasana demi tujuan pendidikan politik silakan, tapi kalau mau beneran dijadikan calon, ogah.” Eh, rupanya mereka serius. Tak berapa lama setelah mereka melakukan jumpa pers, banyak sekali telepon dan SMS yang masuk. Bahkan, “gawatnya”, ada yang sudah menyatakan siap menjadi penyandang dana segala. Beberapa mantan mahasiswa saya juga SMS. Satu di antaranya mengatakan, “Sudahlah Pak, maju saja. Kami sudah siap bikin posko bersama jaringan mitra kerja kami sampai ke pelosok desa.” Beberapa waktu kemudian, kawan lain, saudara Arya, memberi saya berita bahwa beberapa kepala desa dari Kintamani menanyakan kebenaran berita itu sekaligus kesungguhan saya disertai janji untuk memenangkan saya mati-matian, paling tidak di wilayah Kintamani. Yang menarik, tatkala suasana telah jadi riuh rendah seperti itu, kawan-kawan dari parpol yang biasanya rajin nelpon saya jadi tidak pernah nelpon lagi. Sebaliknya, kawan-kawan lama tak pernah kedengaran kabarnya tiba-tiba jadi rajin nelpon.

267029_2228840006476_6287311_o

Saya santai saja. Karena memang tidak tertarik. Saya pernah menulis artikel yang judulnya “Betapa Tak Menariknya Jadi Gubernur Sekarang.” Tulisan itu adalah kritik saya terhadap konsep otonomi daerah yang diberlakukan saat ini, yang diawali oleh diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004), yang memberikan kewenangan besar kepada bupati/walikota, sementara gubernur memiliki sedikit kewenangan. Itu pun sifatnya lebih banyak kewenangan koordinasi dan sedikit kewenangan supervisi. Gubernur sama sekali tak ada wibawanya di mata bupati/walikota. Sebab, gubernur (menurut undang-undang tadi) bukan atasan langsung bupati/walikota itu. Begitulah kira-kira gambaran sederhananya. Jadi, apa menariknya? Katakanlah, kita memiliki seorang gubernur yang sangat visioner tentang bagaimana seharusnya Bali dibangun. Namun, visi itu tak dapat dia wujudkan sendiri. Karena sebagian besar kewenangan untuk mewujudkannya justru berada di bawah kewenangan bupati/walikota, sementara para bupati dan walikota ini diundang rapat pun kerap tak datang. Apa enaknya jadi gubernur dalam sistem semacam itu.

Banyak anggota masyarakat yang kecewa dengan arah pembangunan Bali yang lebih fokus pada kuantitas dibanding kualitas dan akhirnya berdampak pada kemunduran, bukannya kemajuan. Sampah menggunung, perda RTRW mandul, kemacetan kian parah. Bali sungguh sedang menghadapi masalah yang amat kompleks. Apa masukan yang bisa anda berikan?
Saya setuju itu…. Bahkan, kalau Anda “rajin” mengikuti tulisan-tulisan saya dulu (sebagian di antara tulisan itu kini dapat dijumpai dalam buku kumpulan tulisan saya yang diberi judul, Saya Sungguh Mencemaskan Bali, Jakarta, 2008)… Oh ya, khawatir lupa, ada satu catatan penting yang mungkin perlu dipikirkan oleh siapa pun yang memimpin Bali nanti, yaitu keliru kalau ia (pemimpin Bali itu) menganggap bahwa media promosi Bali itu hanya dilakukan lewat duta-duta seni tradisi. Itu penting. Tetapi ingat, para seniman kontemporer Bali juga jangan diabaikan perannya. Sebut misalnya, untuk sekadar contoh, prestasi yang diraih sejumlah rock band Bali seperti Navicula, Superman Is Dead, dan lain-lain. Sebagai titik pertemuan berbagai budaya dunia, Bali sudah saatnya memimirkan untuk membangun satu gedung konser (concert hall) dan gedung opera yang representatif. Ini akan memberi keuntungan ganda. Bali akan makin dikenal di dunia. Sebaliknya, orang Bali pun dapat belajar darinya. Saya bermimpi, dengan gedung konser yang dimilikinya, Bali dapat menjadi penyelenggara festival musik berkelas internasional, misalnya dari genre rock, yang diberi nama, misalnya Bali International Rock Festival. Anda dapat membayangkan apa gerangan yang akan terjadi. Demikian pula, suasana macam apa yang akan terbangun apabila suatu ketika, misalnya, Aida-nya Geuseppe Verdi dipentaskan di gedung opera yang dimiliki Bali. Seluruh mata dunia saya kira akan makin tajam menatap ke pulau ini.

Tadi sempat disebut bahwa anda pernah cukup lama berkiprah di radio, menjadi penyiar, mengasuh program sendiri, memainkan musik yang anda gemari—musik rock pastinya. Anda masih tertarik untuk kembali ke jagat radio dan siaran lagi?
He he … itu dimulai secara tak sengaja sebenarnya. Pada waktu saya mahasiswa, kebetulan saya aktif di organisasi Senat Mahasiswa. Waktu itu kami punya gagasan untuk mengemas penyuluhan hukum secara ringan dalam bentuk obrolan di radio. Lahirlah acara yang diberi nama “Kantin Justitia” di Radio SIS saat itu (sebuah radio berfrekuensi AM yang berlokasi Jalan Nakula, Banjar Tampakgangsul Denpasar). Kebetulan kepala studionya saat itu kawan kami, Bung Hendrik. Suatu kali, Bung Hendrik ngomong sama saya, “Pal, boss (maksudnya pemilik radio) suka dengan suara kamu yang serak itu.. mau nggak kamu jadi penyiar di luar acara Kantin Justitia?” Itu kalau tak salah tahun 1985. Tanpa pikir panjang, saya bilang oke. Karena memang saya suka. Radio ini sudah jadi radio favorit saya sejak saya SMP. Salah satu penyebabnya adalah karena ada acara nyanyi-nyanyi secara live, kalau tak salah setiap malam Minggu, yang dinamakan Adi’s Goup Programme (nama ini merujuk kepada pemilik radioa saat itu, yaitu Bapak Anak Agung Adiyasa, almarhum). Dari sini banyak lahir musisi yang di kemudian hari jadi musisi yang cukup dikenal di Bali, misalnya (kalau tak salah) Gus Darmadi, Cakil (alias I Gusti Made Sutantra), dan lain-lain. Tapi saya tak lama di SIS. Hanya sekitar 2 tahun. Tahun 1987, via Bung Hendrik juga, saya mendengar kabar bahwa RRI sedang membuat pilot project dengan suatu konsorsium untuk membuat kerjasama siaran yang akan dikelola secara swasta. RRI menyediakan gelombangnya (93,5 FM). Konsonsium itu pengelolanya. Lahirlah radio PAS FM (yang merupakan singkatan dari tiga perusahaan yang tergabung dalam konsorsium yaitu Prambors, Ario Bimo Perkasa, dan Sonata Daya Cipta), yang belakangan berubah menjadi HOT FM. Maka melamarlah saya ke sana dan diterima. Saya yakin, salah satu alasan saya diterima bukanlah karena suara saya bagus tetapi karena hasil wawancara saya dengan Pak Dedi Sonata (pemilik perusahaan dari salah satu anggota konsorsium) karena dalam wawancara itu semua pengetahuan saya tentang musik, khususnya musik rock, dan musisinya saya “muntahkan” sampai Pak Dedi geleng-geleng kepala. “Pengetahuan” itu saya peroleh sejak saat saya masih SMP tatkala berjualan koran mingguan dan majalah musik (khususnya Aktuil, Vista, Junior) di stasiun bus (saat itu) Kereneng di pertengahan tahun 1970-an. Saya rajin mencatat segala sesuatu yang berkait dengan musik dan pemusik rock ke dalam sebuah blocknote yang bentuknya mirip dompet (yang di kemudian hari menjadi penyebab hilangnya blocknote itu karena dicopet di sekitar Muntilan dalam perjalanan saya ke Borobudur dari Yogyakarta. Pasti karena dikira berisi uang).

Sesungguhnya bekerja di radio itu sangat menyenangkan. Sudah gitu dibayar pula ha ha… Karena menjadi penyiar itu pula saya sempat “terpeleset” jadi MC rockband SAS ketika mengadakan konser di Bali. Kalau tak salah tahun 1989. Meskipun honor saya, yang dijanjikan sebesar 1 juta rupiah (yang cukup besar untuk nilai uang saat itu) ditilep alias tak dibayar oleh promotor konsernya ha ha… dia kawan saya.

Kalau kilas balik ke sana, tak terasa kalau saya ternyata sudah tua ha ha… Pengalaman saya selama menjadi “orang radio” mengajarkan bahwa radio, terutama yang mengambil segment pendengar anak muda (remaja hingga dewasa), dapat menjadi sarana pengembangan sekaligus penyaluran kreativitas anak-anak muda. Dulu kami punya klub pendengar yang sangat aktif. Namanya HOT FM’s LC (HOT FM Listeners Club). Mereka ini sangat aktif menyelenggarakan acara-acara off-air. Beberapa yang saya ingat misalnya: Pesta Bola Basket, yang kemasannya mirip DBL sekarang ini dan itu disiarkan langsung. Ada banyak contoh acara off-air lain yang digagas dan/atau dikerjakan oleh para LC. Kami pun jadi sangat dekat. Beberapa di antaranya baru saya “temukan” kembali, setelah puluhan tahun tak ada kontak, berkat pertolongan media sosial Facebook.
Kita juga bisa menjadikan radio sebagai medium apresiasi seni, misalnya musik. Saya pernah mengasuh acara malam hari yang diberi titel Beatles Night. Isinya bukan sekadar muter lagu-lagu Beatles tetapi juga berbagi ceritera mengenai atau yang berkait dengan Beatles. Misalnya, bagaimana kisah sampai lahirnya lahirnya lagu “Hey Jude”, kisah mengapa John Lennon dijuluki si penyair dari alam kelam (the dark poet), dan sebagainya. Di luar dugaan ternyata banyak sekali penggemar acara itu sehingga akhirnya acaranya dimodifikasi sehingga memungkinkan pendengar pun dapat berbagi ceritera atau pengetahuannyat tentang Beatles. Sayang, tahun 1990 saya dengan berat hati harus meninggalkan dunia radio karena beasiswa saya untuk studi S2 (dalam bidang kajian hukum internasional) keluar.

DeepPurple-Burn

Sampai sekarang sebenarnya tawaran untuk kembali menjadi orang radio itu selalu menjadi tawaran yang menggiurkan buat saya, bukan karena alasan bayarannya, tetapi karena di situ ada passion yang membuat kita merasa hidup dan bermanfaat. Hanya masalahnya, saya tak lagi punya waktu. Pekerjaan menjadi orang radio sungguh membutuhkan keseriusan. Di masa saya siaran dulu, saat teknologi informasi belum sepesat sekarang, saya mewajibkan diri saya sendiri untuk senantiasa melakukan semacam riset (mencari berbagai informasi tentang suatu topik yang berkait dengan materi siaran) sebelum memulai siaran. Bahan-bahan itu kemudian diolah menjadi “menu” yang variatif. Enak-tidaknya menu itu acapkali bukan bergantung pada bahannya melainkan pada cara penyajiannya. Di sinilah kemampuan improvisasi seorang penyiar sangat menentukan. Dengan demikian, meminjam istilah mentor saya di radio, Saudara Artha Bangun, penyiar itu bukan menjadi “penjaga lonceng” atau “petugas badan meteorologi dan geofisika” (karena materi omongannya hanya berisikan informasi tentang waktu dan keadaan cuaca) ha ha…. Saya selalu ingat “rumus” yang dia ajarkan tentang kapan seorang penyiar dapat dikatakan berhasil yaitu bilamana seorang penyiar, tanpa menyebut nama pendengarnya, mampu membuat si pendengar merasa kalau penyiar itu seolah-olah sedang berbicara dengannya.

Sebutkan 3 album rekaman favorit anda sepanjang masa serta kenapa.
Rekaman favorit saya? Susah! Terlalu banyak yang disukai. Oke, apa boleh buat, saya harus menyebutnya: A Night at the Opera (Queen), Celebration Day (Led Zepplelin), Burn (Deep Purple). Saya suka A Night at the Opera karena di situ “Bohemian Rhapsody” dan “Love of My Life”. Siapa yang tidak merinding dengan “Bohemian Rhapsody” dan siapa yang tidak klepek-klepek mendengar “Love of My Life”?
Lalu Celebration Day, album konser Led Zeppelin tahun 2007, konser yang digelar sebagai penghormatan kepada Ahmet Ertegun (pendiri dan president Atlantic Records). Saya suka karena di sini, di lagu “Ramble On” suara Robert Plant masih bertenaga seperti ketika ia menyanyikan lagu itu pada akhir tahun 1960-an dan, ini yang penting: coba dengar bagaimana Plant “bercakap-cakap” dengan dalam harmonisasi variasi betotan bass John Paul Jones, gebukan drums Jason Bonham, dan pekikan gitar Jimmy Page.
Sementara itu, saya suka Burn karena di situlah kali pertama saya menemukan ternyata tatkala suara “malas-malasannya” David Coverdale dipadukan dengan suara si pembetot bass Glenn Hughes hasilnya jadi luar biasa.

Punya kalimat wasiat penutup?
Seberapa seringkah anda merenung tentang kejahatan. Sebaiknya sering-seringlah. Sebab, tanpa itu bukan tidak mungkin kalau anda, melalui suatu perbuatan tertentu, sesungguhnya sedang melakukan kejahatan justru tatkala anda yakin bahwa saat itu anda sedang memperjuangkan kebaikan.
_______________

• Wawancara di atas sejatinya adalah materi untuk rubrik tetap saya di majalah The Beat edisi Bali “Homegrown & Well Known” dimana materinya selain diringkas juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Namun karena berlimpahnya informasi menarik yang tak tertampung di Homegrown & Well Known versi Inggris tersebut maka saya putuskan untuk memberikan halaman khusus berbahasa Indonesia. Seluruh respons dari Dewa Palguna adalah sebagaimana adanya, seperti apa yang tertera di atas, nihil pengurangan atau penambahan.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

RUDOLF DETHU

Scroll to Top