search

Gerakan Itu Bernama Bali Creative Festival

Bahkan sebelum kami yang diundang untuk menghadiri Bali Creative Festival 2011 mendarat di Bali, kami sudah menemukan kata kunci itu, auto-pilot.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Bahkan sebelum kami yang diundang untuk menghadiri Bali Creative Festival 2011 mendarat di Bali, kami sudah menemukan kata kunci itu, auto-pilot. Kata itu kami temukan ketika membahas sebuah kondisi di mana musik, seni rupa, literature dan penerbitan serta banyak bagian industri kreatif di Indonesia—apapun definisi dari industri kreatif—bisa berkembang dan maju tanpa, atau dengan sedikit, peran negara. Banyak dari kita yang cukup puas dengan misalnya jika negara tidak menghalangi jalan bagi kemajuan industri kreatif dengan tidak mempersulit masalah perizinan dan hanya membangun infrastruktur, yang memang sudah menjadi kewajiban mereka. Ide dan inisiatif adalah adalah hal terakhir yang bisa datang dari birokrasi karena mereka memang mereka seharusnya menjadi lambat, korup, serta tidak cukup memiliki imajinasi.

Dan ketika kami sudah sampai di Sanur dan ada di tengah-tengah hingar bingar Bali Creative Festival, yang mendapat dukungan penuh dari Departemen Perdagangan, kami tetap belum mau untuk segera menanggalkan tesis kami bahwa negara sedang berada dalam kondisi auto pilot ketika berhubungan dengan industri kreatif. Mungkin karena festival tersebut di jalankan oleh provokator skena musik Bali, Rudolf Dethu—serta rekan-rekan aktivis seni Bali—yang memang sangat counterculture itu, maka suasana indie dan hip itu begitu terasa.

Atau mungkin juga karena line-up pembicara yang memang kebanyakan adalah entitas-entitas kreatif partikelir yang sedikit atau banyak telah secara berhasil membangun gerakan swadaya di bidang industri kreatif dengan penuh gelora inovasi. Gerakan-gerakan yang kebanyakan berskala kecil dan medium; mulai dari Ubud Writers and Readers Festival, Common Room Network, Social Media Festival, komunitas desainer grafis Indonesia, komunitas pengembang dan pembangun mobile games, Seaman’s Club yang membela hak-hak para pelaut dengan memberi advokasi serta kegiatan budaya, aktivis film dokumenter Daniel Ziv yang sekarang sedang mengerjakan film dokumenter Jalanan, sutradara film musik independen Vincent Moon—yang juga membuat klip untuk band uber hip kota New York The National—dan Ibu Robin Lim dengan gerakan klinik melahirkan yang aman itu. (Disclaimer: Jakartabeat.net termasuk yang diundang untuk berbicara tentang membangun jaringan untuk media alternatif)

Pada malam hari di tampilkan di sebuah panggung yang besar untuk menunjukkan band-band Bali yang multi-genre dan multi-gaya, yang tentu akan butuh waktu yang sangat lama untuk di tulis oleh media-media di Jakarta, band-band kebanggaan Bali semacam Nostress, Bintang, Dialog Dini Hari serta dua pahlawan Bali Superman Is Dead dan Navicula tentu saja. Di depan arena pertunjukan musik, disiapkan sebuah apa yang bisa dikatakan sebagai commune, yang saya bayangkan sebagai apa yang terjadi ketika eksperimen tanpa kelas dan surga komunalisme itu memang pada akhirnya bisa tercipta. Sebaris ruangan dari gedung yang yang sudah kosong dan mulai rapuh disulap menjadi arena di mana kolektif seni dan aktivis sosial di Bali bisa bermain-main memproduksi karya seni musik, instalasi, mural, poster, pertanian organis atau hanya sekadar mempertunjukkan kemampuan bermain skateboard. Malam, segera setelah Bali Creative Festival usai, dengan musik ramuan dari DJ Indra Tujuh, diselimuti poster bergaya Taring Padi dan gambar cukil, ramuan lampu psikedelik dari instalasi seniman-seniman multimedia lokal, di tambah dengan konsumsi minuman organis maupun non-organis dari Bali, siapapun yang hadir sulit untuk tidak membayangkan ini sebagai sebuah perwujudan utopia komunal itu.

Perjumpaan dengan banyak pengunjung pembicara di festival ini membuka mata kami bahwa terlepas dari silang sengkarut politik, korupsi, dan hilangnya sebagian dari kemanusiaan kita, Indonesia masih memiliki anak muda serta manusia-manusia kreatif. Mereka yang selalu memandang ke depan dan berfikir bahwa hal-hal baik masih bisa diciptakan tanpa selalu untuk mendapatkan imbalan uang dan koneksi politik. Terus terang, saya terlambat untuk mengetahui kalau di Yogyakarta, tepatnya di wilayah Condong Catur terdapat cluster anak-anak muda, para programmer dan grafis desainer yang menciptakan industri yang sangat kreatif. Anak-anak muda inilah menciptakan game-game mobile yang kemudian di jual melalui app store yang kemudian mendarat di telephone pintar anda. Dalam sebuah presentasi mereka di awal Minggu pagi, di Bali! Dengan bercanda searing perwakilan dari mereka menyebut kawasan di mana mereka bekerja sebagai “Condong Catur Valley”, memplesetkan pusat industri pintar berbasis Internet di Silicon Valley. Yang lebih mengharukan bukan hanya capaian dari para pembicara, namun juga para peserta, mereka yang baru mulai dengan coding dan grafik desain, anak-anak muda Bali yang begitu antusias datang dan dengan semangat bertanya tentang kepada siapa mereka bisa menjual game ciptaan mereka.

Kurang lebih jam delapan malam di hari Sabtu, ruangan begitu penuh ketika sebuah tim gabungan dari Jakarta dan Bandung memberikan presentasi tentang bagaimana menciptakan animasi bergerak dengan desain grafis. Mungkin mereka menunggu penampilan Mosidik dari Stand Up Comedy namun mereka nampak tidak berkedip ketika menyaksikan animasi bergerak yang membuaikan mata dan telinga karya Isha Hening dan kawan-kawan. Siang hari di sebuah sesi yang sangat berat, mengingat bersamaan dengan jam tidur siang, ruangan hampir penuh bahkan untuk tema perbincangan yang hampir abstrak tentang bagaimana menggunakan jaringan sosial untuk membangun perubahan. Janet De Neefe dari Ubud Writers and Readers Festival membagi pengalaman bagaimana pentingnya sinergi antara ide dan niat baik dengan didukung kekuatan sponsor dari pihak swasta. Shafiq Pontoh dari salingsilang.com meyakinkan kami semua bahwa media sosial seperti Twitter dan Facebook tidak hanya menghasilkan noise serta sampah dari retweet dan status update yang terlalu sering, namun juga bisa efektif menjadi sarana membangun gerakan sosial yang efektif, sepanjang cause dan ide yang diperjuangkan memang memiliki bobot. (Setelah mengikuti sesi ini, saya ingin segera membeli telepon pintar supaya bisa menciptakan perubahan secara lebih cepat). Apa yang dikemukakan oleh Shafiq itu kemudian cocok dengan pengalaman Common Room Network dari Bandung dan Jakartabeat dalam menggunakan Internet, social media, blog, e-mail, mailing-list untuk membangun jaringan penulis, aktivis, pembaca yang kemudian secara aktif berkontribusi dalam memajukan gerakan budaya alternatif.

Kejutan terbesar adalah tentu saja fakta bahwa acara ini diselengarakan di Bali. Sebelum acara dimulai Jakartabeat sempat berbicara dengan penggiat kesenian di Bali yang merasakan betapa mencekiknya warisan budaya lama Bali yang dalam banyak hal membelenggu generasi muda yang memilih melihat masa depan sebagai sintesis antara yang lama dan yang baru atau yang sama sekali baru. “kesenian itu bukan batu, namun yang sering kami jumpai adalah pemuda dengan pakaian tradisional yang menutup jalan” demikian ucapnya. Saya bayangkan pemuda penutup jalan itu adalah pemuda penjaga keamanan yang menutup jalan untuk ritual tradisional. Saya tidak tahu persis apa maksud dari pernyataan rekan dari Bali tersebut, namun ada nada tidak sabar untuk Bali segera beranjak dari pra-konsepsi dan stereotype moi indie dengan pantai yang cantik, perempuan berkemben membawa sesaji dan siluet pura yang selalu menjadi latar.

Bali Creative Festival adalah upaya untuk membawa Bali ke masa depan. Saya hanya menduga bahwa upaya tersebut adalah untuk mempersiapkan Bali untuk masuk ke sebuah masa post-exoticism di mana turis datang ke Bali tidak hanya untuk pantai indah, souvenir murah, upacara adat serta budaya tradisional semata. Dan jika itu adalah alasannya, banyak kota lain di Indonesia selayaknya harus memiliki festival-festival kreatif semacam ini. Dan jika negara tidak bisa membantu membidani lahirnya industri kreatif paling tidak mereka bisa mendukung acara semacam ini di banyak daerah. Itu lebih dari cukup.

SEE ALSO
Imanez: Sunset & Sunrise

__________________

• Artikel ini ditulis oleh Taufiq Rahman, dipinjampakai—dengan segala hormat—dari Jakartabeat.net dan tayang pertama kali pada 1 Desember 2011. Untuk melihat artikel aslinya silakan klik di sini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top