search

Ganyang Nasionalisme Usang Lalu Sambut Pahlawan Baru

Sekarang sudah tahun 2012 menyongsong 2013.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
TiadaCela

Sekarang sudah tahun 2012 menyongsong 2013. Jaman sudah brutal berubah. Makna juga telah banyak bergeser. Sebagian hal-hal di masa lalu yang tadinya dipandang adiluhung kini berhenti menjadi sekadar barang usang. Benda-benda pada dahulu kala dipandang keramat di jaman sekarang nilai angkernya anjlok berkurang—atau melulu dihargai atas alasan sentimental semata. Begitu pula dengan fenomena pahlawan. Berwajah marah, berikat kepala pita merah putih, bersenjatakan bambu runcing, stereotip yang kerap menghias buku-buku pelajaran sejarah, sudah tak pas lagi dengan geliat jaman. Perang sudah lama usai, cukup sudah tanah berceceran darah. Jumawa menasbihkan diri sebagai pembela Pancasila dan menghalalkan kekerasan terhadap yang lebih lemah dan/atau oposan juga bukan cermin kepahlawanan sebab tindakan tersebut tak lebih dari laku premanisme, kriminal, serta melanggar Hak Asasi Manusia. Pun berlomba mendaftar menjadi sukarelawan—sebagian “nasionalis” dengan bangga menyebut diri sebagai “pasukan berani mati”—demi mengganyang negeri jiran karena dianggap telah mengoyak rasa kebangsaan (dan memvonis mereka sebagai maling) sejatinya paceklik hakikat kepahlawanan karena melegitimasikan pendekatan fisik, melegalkan pemakaian senjata mematikan, yang notabene adalah budaya barbar, kuno, non-intelek, duh-gusti murtad terhadap norma mutakhir yaitu pendekatan diplomasi—atau selanjutnya menggunakan kekuatan hukum jika jalur diplomasi mentok. Lagipula, menurut saya, yang mestinya diganyang adalah pemerintah kita sendiri yang kampret tiada becus mengurusi Hak Kekayaan Intelektual. Kita jadi rakyat mah jangan mau mati sia-sia, merasa membela negara padahal sebenarnya cuma menutupi kesalahan sekaligus memanjakan birokrat malas lagi miskin sense of crisis

Lalu siapa—atau apa—yang layak menyandang gelar pahlawan, yang klop dengan kekinian sekaligus pekat cengkok lokal, khas selera Nusantara? Jawabannya: Bahasa Indonesia. Bagi saya, tindak kepahlawanan, solidaritas kebangsaan, kecintaan hingga akhir khayat pada tanah puspawarna Zamrud Khatulistiwa ini lebih heroik ditunjukkan lewat aktivitas merawat dan membesarkan Bahasa Indonesia. Patut disadari bahwa sesungguhnya mak comblang, penghulu akad nikah, pesenyawa putra daerah mulai Aceh sampai Papua, elemen yang paling jitu menjadi magic glue pemersatu serta perekat kebinekaan Wawasan Nusantara ya memang Bahasa Indonesia. Selain relatif nihil konflik, penetrasinya lancar, diterima dengan tangan terbuka oleh semua daerah, Bahasa Indonesia digdaya memposisikan dirinya sebagai lingua franca alias bahasa pengantar resmi satu-satunya di negeri dengan pulau-pulau yang menyebar dengan populasi ratusan juta ini. Sungguh sebuah fakta mencengangkan sebab jelas bukan perkara gampang untuk meyakinkan sedemikian berlimpah manusia dengan karakter beragam yang sebagian tempat tinggalnya jauh terpencil lagi terpisah oleh lautan. Nah, kita, generasi hari ini, tinggal melanjutkan apa yang sudah sukses dilakukan pendahulu. Mari teruskan epos kepahlawanan itu, lakukan hal yang kecil dengan cinta yang besar: merawat dan membesarkan Bahasa Indonesia.

Jadi sebelum bersilat kata dan bermaksud melucu bin gaul dengan kerap mengucap ciyus dan miapah, seyogianya mawas diri terlebih dahulu apakah kita sudah mahir berbahasa Indonesia atau belum. Jika sudah barulah berimprovisasi, ajojing kebahasaan. Okeh?!

_____________________

• Tulisan ini pertama kali dimuat majalah Trax edisi Pahlawan, November 2012
• Foto di halaman ini, “Tiada Cela Berbahasa Indonesia”, dipinjampakai dari fauzanalkahfi.blogspot.com
• Foto di halaman depan dipinjampakai dari photo.sindonews.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top