search

Blantika | Linimasa: Musik Bali yang Menyimpang

Sebagaimana kota-kota atau pun pulau-pulau lainnya di Indonesia, Bali punya keunikan dan sejarahnya yang tersendiri
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Dengan semangat “harus jadi” dan membuat tenggat waktu rilis bertepatan dengan event yang dipersiapkan, maka jadilah buku ini. Motivasinya adalah mencatat, mendokumentasikan segala wara-wiri musik-musik non-tradisional Bali. Rudolf Dethu dan tim penulisnya: Anton Muhajir, Alfred Pasifico, dan Gede Roby Supriyanto sukses menyajikannya dalam sekitar 100 halaman yang penuh dengan informasi menarik skena musik Pulau Dewata dari dekade-dekade silam hingga sekarang.

Sebagaimana kota-kota atau pun pulau-pulau lainnya di Indonesia, Bali punya keunikan dan sejarahnya yang tersendiri (sebutlah agama dan kepercayaan, adat istiadat, pesona alam dan ragam pantai, tempat tujuan turis yang mahsyur, hingga peristiwa Bom Bali) yang menjadikan musik non-tradisional di sana tercipta dan menyebar dengan cara-caranya—berpadu dengan hal-hal global seperti teknologi membuat musik, politik dan pembajakan musik Indonesia, trend musik dunia dan MTV, juga internet—hingga menampakkan ciri-ciri khasnya yang memberikan keberagaman pada musik Nasional dan dunia. Buku ini mencatatnya dengan gaya yang telanjang, membeberkannya lugas dan menyeluruh. Jelas bukan sedang berlebihan mengagungkan kedaerahan belaka, kita tahu penggagas buku Rudolf Dethu terlalu keren untuk terjebak di situ.

Pemetaan dan tata kalimatnya apik. Runut. Personal. Menggairahkan. Tentang informasi, banyak hal yang belum saya ketahui. Buku ini jelas menjawab dengan mujarab, bahkan pada pertanyaan-pertanyaan yang belum kita ajukan.

Dengan lahir dan besar di Jakarta, dan katakanlah “generasi 1990-an”, geliat musik non-tradisional Bali yang saya kenal hanya segelintir. Paling-paling seputar “Bali Vanilli” di masa saya kecil (dan tidak ngeh bahwa punggawa MIDI, Igor Tamerlan sevisionaris itu), perhelatan bawah tanah “Total Uyut” yang bisa dibaca di fanzine terbitan Jakarta “Brainwash” pada sekitar 1996, Superman Is Dead dan “gelombang rockabilly Made in Bali”, skena black metal yang gembur, dan hal-hal di era internet pada 2000-an. Buku ini telah membobol jendela, dengan bab-bab singkat yang efisien, membuat saya membaca hingga selesai dan langsung membuka laptop untuk segera menulis resensi ringkas ini di tengah satu hari biasa mencari nafkah di Ibu Kota.

BLANTIKA| LINIMASA tidak bisa dilihat terbit hanya karena, umpamanya, Superman Is Dead terbukti menjadi salah satu band rock terbesar di Indonesia dan festival-festival tercium makin marak diadakan di Bali, tapi kesungguhan attitude untuk melakukan riset dan pencatatan, didukung kemampuan menulis dan penyuntingan yang sedap dibaca. Di mana peristiwa politik, sosial, alam, teknologi, yang “asing” dan “lokal”, serta masing-masing manusia dan hubungan antar talenta yang saling memberi pengaruh pada musik dan lirik, pada komunikasi, pada budaya, pada konflik tradisi bagi kaum tertentu, pada hasrat individu-individu lainnya.

Menuju kalimat terakhir sampul belakang buku tertulis: “BLANTIKA|LINIMASA diharapkan akan mengundang upaya serupa di daerah lain. Sebab sejarah hanya milik mereka yang menulis”. Membaca segenap buku ini, kesepakatan saya jatuh bersama harapan itu. Bayangkan jika kita bisa membaca hal serupa dari Sumatera sampai Papua. Tenang, saya tak sampai hati untuk menutup tulisan ini dengan jargon “Jaya terus musik Indonesia”. Melainkan hal sederhana, tentang bagaimana cara kalian bisa memesan buku esensial ini; silakan kirim email berjudul “Pesan B|L” ke [email protected].

Selamat menikmati, dan bersulang.

Judul buku: BLANTIKA| LINIMASA Kaleidoskop Musik Non-Trad Bali Sejak Lahir-Tumbuh Kembang- Berdiri – Pingsan- Berdiri Lagi-Menolak Mati
Konseptor dan Editor: Rudolf Dethu
Tim Penulis: Alfred Pasifico Ginting, Anton Muhajir, Gede Roby Supriyanto
Penerbit: matamerabook, 2011

*Resensi ini ditulis oleh Harlan Boer, dipinjampakai—dengan segala hormat—dari Majalah Cobra edisi online rilisan 13 Desember 2011. Untuk edisi otentiknya silakan klik di sini

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top