search

Alternative Classic Southern-Rock Press

Artikel?mungkin lebih tepat disebut "curhat" (atau malah "curcol"?)?yang membahas migrasi saya dari majalah Alternative Press ke Classic Rock ini sejatinya adalah materi lama, walau tak juga bisa dibilang sudah usang. Sengaja tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Artikel?mungkin lebih tepat disebut “curhat” (atau malah “curcol”?)?yang membahas migrasi saya dari majalah Alternative Press ke Classic Rock ini sejatinya adalah materi lama, walau tak juga bisa dibilang sudah usang. Sengaja tetap saya tampilkan di situs pribadi saya ini demi mendokumentasikan perspektif yang pernah saya tuangkan agar menjadi lebih rapi, tak lagi berceceran tak beraturan, bisa menjadi arsip yang sahih lagi sinambung.

_____________________

Beberapa bulan belakangan, saya duh-gusti tulus ikhlas menjalankan ritual religius: membaca majalah Classic Rock. Media terbitan Inggris yang masih saudara tua Metal Hammer ini masif menyedot perhatian saya entah karena saya beringsut lelah dengan terus bermunculannya band baru tiap hari atau karena “beribadah” menghayati Classic Rock bak menyimak pelajaran sejarah & ilmu pengetahuan nan mengasyikkan. Memang, hampir tanda jedanya saya sejak 1 dekade lebih menggeber energi mengikuti dinamika kelahiran artis-artis mutakhir yang dibahas oleh majalah AP (Alternative Press) di penghujung mulai memunculkan gejala letoy, mulai letih. Kalau dulu sih ketika saya masih di perantauan relatif lebih gampang “mengikuti kata hati”. Giliran tertarik dengan sepucuk band yang diulas AP, begitu habis gajian, udah, langsung ke record store terdekat untuk memburunya. Jika ternyata albumnya sulit didapatkan di kedai cakram digital, aman, bisa lewat mail order. Tapi sekarang, tak segampang itu. Selain koleksi album yang tersedia di toko-toko cd sangat tidak lengkap (terutama di Bali), seandainya mau pesan lewat pos, wih, jatuhnya, bajingan, mahal banget. Ditambah lagi nilai Upah Minimum Regional alias standar gaji yang tak manusiawi, fiuh, lengkap sudah derita musikal ini.

Mengunduh via Limewire atau file sharing sejenis? Bisa saja. Tapi perbendaharaan yang tersedia sering tidak lengkap, ya jadinya kurang puas. Lagipula, bagi saya pribadi, ritual agamis pergi ke record store, riang ria dikelilingi rimbun “new release”, penuh gairah menuju kompartemen “alternative”, gemuruh diberondong kompilasi tembang mutakhir dari surround sound system kelas yahud di sekeliling toko; seremoni seperti itu, oh-sungguh tak tergantikan. Sementara di era millenium ini saya musti ultra selektif. Setiap kali menerima AP edisi terbaru, berbeda dengan kebiasaan jaman silam, sekarang mah super jarang saya bergegas melalap artikel utama. Justru target yang instan saya sasar adalah 2 kolom tetap AP: halaman paling belakang, “10 Essential”; serta risalah unik si lidah kecut, Jason Pettigrew, “I Don’t Know, Ask That Guy”. Dan jika ditelaah lebih dalam, kedua artikel khas AP ini ya sebenarnya pekat kaidah sejarah & ilmu pengetahuan juga. Seperti misalnya bahasan tentang 10 Album Punk Non-Bahasa Inggris Terpenting (“10 Essential No-Speak-English Punk Album”, AP # 236) atau 10 Solo Gitar Paling Vital (di Lagu) Punk Rock (“10 Essential Punk Rock Guitar Solos”, AP # 237). Sementara Pak Cik Pettigrew di “I Don’t Know, Ask That Guy” di edisi 238 menolak anggapan bahwa Santana adalah sosok besar?semua album Santana setelah tahun 1977 dianggapnya buruk (!). Dan Ted Nugent dianggapnya telah tak pantas lagi menyandang gelar “Motor City Madman” (AP # 233). Pendeknya, dalam konteks musik, saya cenderung mengendurkan langkah yang tadinya cepat menjadi sedikit lebih lambat. Mulanya agresif dus berkecepatan tinggi mencari tahu soal band paling baru, paling hot, paling tinggi peringkatnya di klasemen musik alternatif. Hari ini tidak lagi. Capek euy.

Classic Rock Southern Rock Issue

Bisa jadi karena kondisi penat itu, pelan namun pasti saya beranjak mengakrabi Classic Rock, menjadi tergugah mempelajari kembali, meneliti lagi, musisi-musisi yang memiliki andil besar dalam membangun fondasi musik (Rock) hingga seperti sekarang. Majalah Classic Rock memang riuh mengupas hal-hal historikal. Salah satunya yang edisi Musim Panas 2008. Edisi ini menurut saya amat menarik sebab disesaki oleh kisah tentang gono-gini Southern Rock?dengan fokus cerita utama pada Lynyrd Skynyrd, wakil esensial genre yang berawal dari daerah Selatan Amerika Serikat ini. Selain itu pembaca dihadiahi pula sekeping cd gratis bertajuk Southern Rock Uprising yang khusus menampilkan para hulubalang Southern Rock baik dari masa lalu maupun masa sekarang. Mulai dari kasta tertinggi (istilah Classic Rock, “Grand Poobah”) semisal Black Oak Arkansas & Molly Hatchet, pionir Southern Metal, Blackfoot, dan penerusnya, Down (yup, it’s Phil Anselmo!); hingga “anak haram”nya Willie Nelson x Izzy Stradlin: Willie Stradlin.

Ditambah lagi?selain bahasan tuntas mengenai Lynyrd Skynyrd?Zakk Wylde , mastermind Black Label Society yang juga aktivis militan Southern Rock, dipersilakan memaparkan 40 Tembang Southern Rock Paling Paripurna menurut versi pribadi dia, lengkap dengan argumennya (Zakk, jamaklah, fren, tentu memasukkan salah satu karyanya?dalam konteks ini, Crazy or High?ke dalam daftar adiluhung tersebut he he…).

Zakk Wylde

Serasa belum lengkap, isu miring yang sering mengelilingi Southern Rock yang menuduh Paguyuban Cadas dari Selatan ini sebagai kumpulan redneck nan rasis, menganggap bendera Konfederasi (yang identik dengan Southern Rock) sebagai simbol “white supremacy”, dikaji juga di sini.

Bendera Konfederasi

Nah, siapa kontingen Southern Rock favorit anda? Pula, menurut anda Southern Rock itu rasis atau tidak?

_____________________

*Artikel ini pertama kali tayang di Musikator pada Juli 2008

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top